21. Bahagia

5.7K 453 43
                                    

"Kamu gak boleh bawa barang banyak-banyak. Kamu gak boleh bawa beban berat. Baju kamu disatuin sama koper aku, kan? Coba liat tas kamu isinya apa aja. Barang-barang anak-anak taro di tas ku aja kalo emang keberatan. Kamu—"

"Kak Evan, stop." Evan seketika mengatupkan mulutnya begitu Rachel menghalanginya bicara. Evan juga sadar kalau ia terlampau cerewet terhadap istrinya satu itu. Sedetik kemudian, Evan tertawa lalu mengusap pelan puncak kepala Rachel.

Keluarga Evan kini sudah berada di bandara, menunggu di gate pesawatnya yang sebentar lagi akan terbang. Barang-barang yang ada di tas Rachel beberapa ia pindahkan ke dalam ranselnya. Ia tak mau Rachel membawa tasnya yang berat.

Tiba-tiba pengumuman pun terdengar kalau pesawat yang ditumpangi Evan dan keluarga sudah dibuka. Evan langsung cepat-cepat menutup resleting tasnya dan segera menggendong sebelah ransel tersebut.

Jantung Ravan dan Sandra pun berdegup kencang. Ini pertama kalinya mereka naik pesawat. Sebenarnya Sandra tidak suka menumpangi pesawat karena ia takut. Apalagi sering melihat berita di televisi tentang pesawat yang jatuh, membuatnya takut. Kalau Ravan justru merasa adrenalinnya meningkat. Ia bahkan tidak sabar menaiki pesawat.

Mereka berempat akhrinya duduk di kursi yang telah ditentukan. Namun mereka terpisah. Rachel dan Sandra di kursi sisi kanan sementara Evan dan Ravan ada di sebelah kiri. Rachel sedaritadi ber-selfie ria bersama Sandra. Rachel tahu kalau bocah itu sedang deg-degan dan nervous.

Pramugari pun mulai memberi isyarat untuk mematikan ponsel dan menggunakan sabuk pengaman, tanda pesawat akan segera lepas landas. Sandra langsung membeku. Tangannya saling berkaitan lalu berdoa dalam hati agar pesawat bisa sampai tempat tujuan dengan selamat.

Berbeda dengan Sandra, Ravan justru tidak sabar. "Pa, kapan jalannya sih?"

Evan tertawa. "Sabaarr. Bentar lagi juga jalan. Kamu liatin tuh instruksi pamugarinya di depan." Evan menunjuk ke arah seorang pramugari yang tengah berdiri di tengah-tengah pesawat sambil memberikan instruksi jika pesawat terjadi kecelakaan.

Ravan mendongak-dongakkan kepalanya untuk melihat pramugari tersebut. "Gak keliatan, Pa. Cakep gak?"

Evan spontan tertawa lalu mengacak rambut Ravan pelan. "Mau liat yang cantik, Rav?" Ravan mengangguk semangat sambil menatap Evan. Evan menunjuk ke seorang wanita yang duduk di seberang kanannya. "Tuh, Mama mu."

Ravan tersenyum menatap Rachel yang sedang berbincang dengan Sandra. "Itu sih mah, gak usah ditanya." Evan terkekeh, begitu juga dengan Ravan.

Pesawat mulai berjalan perlahan. Sandra langsung mencengkeram tangan Rachel membuat Rachel tertawa. Sudah berkali-kali Rachel bilang kalau semua tidak seburuk yang Sandra kira. Tapi, tetap saja, Sandra terlalu merasa insecure.

Pesawat pun berjalan sangat cepat karena sebentar lagi akan lepas landas. Sandra semakin mencengkeram tangan Rachel dan matanya terpejam erat. "Ma ... kok cepet banget?" tanya Sandra dengan suara gemetar.

Sementara itu, Ravan justru kesenangan. Adrenalinnya memuncak. Ia justru ingin pesawat ini melaju lebih cepat. Akhirnya, pesawat pun lepas landas. "Wiiiii," spontan Ravan begitu pesawatnya terbang. Ia seperti merasa ada di wahana permainan.

--

Denpasar, Bali

Evan menarik dua koper di Bandara Ngurah Rai. Satu koper berisi baju-baju Rachel dan Evan, dan yang satunya lagi berisi pakaian Ravan dan Sandra. Selain itu, Evan juga menggendong satu ransel.

"Kak... sini Rachel bantu," ujar Rachel lalu memegang koper yang Evan pegang.

"Gak usah, sayang," ujar Evan lalu tersenyum.

Marry a Playboy (PERMANENTLY STOPPED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang