part #4

2.9K 34 0
                                    

Senin pagi yang sangat tidak cerah. Matahari yang aslinya sudah benderang, tidak mampu menembus tebalnya awan hitam yang menggelayuti angkasa Pekanbaru. Memang mendung tak berarti hujan, tapi kali ini ketika Linn baru separuh jalan menuju sekolah, mendung itu tiba-tiba berubah menjadi hujan yang serius.

Buru-buru Linn membelokkan motornya ke sebuah ruko yang tampak mangkrak. Dia sempat terkena hujan sedikit, sehingga di beberapa bagian baju seragamnya tercetak bulatan-bulatan basah air hujan.

Tapi Linn bersyukur bisa cepat menemukan tempat berteduh. Bahaya jika sampai basah kuyup, baju putihnya bisa tembus pandang, lalu bekas koreng di punggungnya akan terlihat banyak orang.

Di samping ruko agak ke belakang, ada sebuah cafe kecil. Tadinya Linn ingin ke sana, numpang berteduh sekalian pesan minuman hangat. Tapi menyaksikan pengunjungnya sudah ramai, para pekerjanya nampak sibuk melayani pembeli, Linn tidak tega dan akhirnya menganulir keinginannya.

Beberapa saat kemudian Linn melihat seorang laki-laki keluar dari cafe. Berlari menembus hujan menuju ke tempat Linn berada. Begitu sampai, lelaki itu tersenyum-senyum ke arah Linn seraya mengusap-usap rambutnya yang sedikit kebasahan. Linn membalas seperlunya, lalu berpaling kembali menikmati hujan.

"Ehem hem..."

Terdengar cowok itu mengeluarkan gaya batuk berlendir. Modus mau kenalan. Basi! Batin Linn tak peduli.

"Diem aja sih. Marah, ya, sama aku?"

Linn menoleh. Menatap lelaki itu tanpa minat. Sudut bibirnya melengkung, terseyum geli atau entah jijik dengan sikap cowok itu. Kepedean banget. Kenal juga enggak. Linn mundur sedikit menjauh. Melipat tangannya di dada, kemudian menyandarkan punggungnya di tembok.

"Kok nyender di tembok?" cowok itu berkomentar sambil menatap Linn tanpa kedip.

"Persoalan?!" Akhirnya Linn tidak bisa untuk tidak menanggapi sosok sok akrab itu.

"Ya enggak sih. Kasian aja sama temboknya, kecolok-colok sayapnya kamu."

Kening Linn mengernyit. Siapa sih ini? Berani-beraninya ngatain bersayap. Emangnya pembalut?!

Cowok itu kemudian membuka tas-nya. "Aku punya sesuatu buat kamu.

"Linn tertegun semakin heran.

"Nih," cowok itu mengancungkan sesuatu.

Seketika mata Linn berbinar. Wajahnya cerah. Sesuatu yang sudah tiga hari ini membuatnya pusing tujuh trenggiling, ada di tangan cowok itu.

"Matre ih. Begitu diliatin dompet langsung semangat," ledek lelaki itu yang tidak lain adalah Adi.

"Eh itu kan emang punyakuuu..." Linn langsung merebut dompet dari tangan Adi. "Udah beberapa hari aku kebingungan nyari ini. Kenapa baru sekarang dibalikin? Teganya."

"Aku juga udah berhari-hari nyariin kamu buat balikin itu, tapi baru hari ini ketemunya."

Linn memeriksa seluruh ruang-ruang di dompetnya. "Ah lipgloss-nya masih ada, duitnya juga masih utuh!" Linn mengeluarkan beberapa lembar uang bergambar duo proklamator, masing-masing lembar dilipat menjadi empat bagian kecil-kecil. "Aku sengaja nyimpan di sisi tersulit. Soalnya kalau kelihatan pasti abis buat jajan. Ini buat jaga-jaga, kalau tiba-tiba terdesak butuh uang cash pas tersesat di pulau nggak berpenghuni yang gak ada ATM-nya."

Adi melongo.

"Alhamdulillah kalungnya juga masih ada. Di sekolah kadang-kadang ada razia perhiasan. Makanya aku simpan di sini," Linn memperlihatkan sebuah kalung emas.

Adi semakin melongo dongo. Dalam hati menyumpah-nyumpah atas kekurangtelitiannya kemarin.

Dari beberapa lembar uang di dompetnya tadi, Linn menyisihkan selembar dan diberikan kepada Adi. "Buat kamu."

Mulailah dari awal

"Untuk apa nih?" Adi menatap Linn dengan tampang pura-pura tak mengerti. "Oh kamu mau nyuap aku, biar aku tutup mulut nggak bilang ke orang-orang, kalau hari ini aku ketemu bidadari?"

"Hahaha bukanlah. Anggap aja ini sebagai ungkapan terima kasih karena udah balikin dompetku. Kenapa? Kurang banyak?"

"Eng... Nggak, enggak. Nggak usah. Aku tulus kok balikin itu. Nggak ngarep imbalan," kata Adi menolak halus, meskipun dalam hati sebenarnya mau banget. Gengsinya yang gede telah mengalahkan kemauannya. Aslinya ia hanya butuh sedikit pemaksaan, supaya tidak malu-malu lagi menerima uang itu. Tapi sepertinya Linn tidak peka akan kelemahannya itu.

"Yaudah kalau nggak mau," Linn memasukan kembali uang itu ke dalam dompet.

Glek! Adi menelan ludah. Pait!

"Makasih banget ya," tutur Linn sambil tersenyum tipis. Raut wajahnya yang tadi kurang suka dengan kehadiran Adi, sekarang tampak lebih bersahabat.

Adi menahan napas menyaksikan senyum itu. Manis sekali. Lesung pipi yang waktu itu ia lihat dari kejauhan, kali ini bisa ia saksikan dari jarak hanya satu gapaian.

"Lain kali hati-hati," sahut Adi sedikit telat.

Linn tersenyum semakin lebar sambil memandang Adi. Nafas Adi seakan terhenti. Ia baru sadar, selain berlesung pipi, senyum Linn juga memiliki pesona lain berupa barisan gigi kelinci yang lucu-lucu. Duh.

"Kalau boleh tau nemuin dompetnya di mana?" tanya Linn.

"Emm... Di sebuah toko kecil di daerah Kubang."

"Udah duga sih ketinggalan di sana. Cuma kemarin pas dicek ke sana udah nggak ada. Kirain diambil sama pemilik toko."

"Eh nggak boleh su'udzon gitu."

Linn kembali menatap Adi. Dalam hati bersyukur dompetnya ditemukan Adi kalau orang lain belum tentu bisa kembali utuh seperti ini. "Kamu baik ya?"

"Bukan, bukan!" Adi  menggeleng kuat-kuat.

"Kok bukan?"

"Aku bukan baik. Kenalin, aku Adi. Adi sang filosofi," Adi mengulurkan tangan.

Linn tertawa kecil. Untuk beberapa saat ia hanya mengamati uluran tangan itu. Setelah yakin tangan Adi tidak mengandung listrik, Linn menyambutnya dan menjabat erat. "Aku...

"Udah tau kok. Kamu Alinna kan?" potong Adi "Lengkapnya Alinna Bilqis Quinova."

"Lho, kamu tau-nya dari TV mana?" balas Linn sok ngartis.

"Baca di situ," dengan gerakan wajah, Adi menunjuk ke arah dada kanan Linn.

Hati Linn mencelos. Dengan sedikit kikuk ia melirik dadanya sendiri. Di baju seragam sekolah yang ia pakai memang tertulis nama lengkapnya. Cepat-cepat Linn menarik tangannya dari genggaman Adi, kemudian berpaling ke arah lain.

"Harus, ya, dari situ taunya?! Huft!" Linn merengut. Dasar mata nggak senonoh. Pasti belum pernah ngerasain kelilipan sepatu Kopassus nih orang! Batin Linn emosi.

"Soriii... Kebetulan aja terteranya emang di situ kan?" Adi berusaha mencari pembenaran. "Lain kali coba ditulis di kening aja, biar aku ngeliatnya ke wajah kamu terus.

"Linn semakin berpaling dan tertunduk, tak ingin Adi melihat wajahnya yang sebenarnya sedang senyum-senyum sebal. Selain itu, Linn juga sedang merogoh tas mengambil ponselnya yang baru saja berdering nada pesan.

'Sekolah nggak?' sebuah Facebook Masengger dari Yonah.

'Udah berangkat sih. Tapi masih kejebak ujan di jalan. Kamu?' balas Linn, juga melalui pesan Facebook.

Cerpen romantis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang