#23

5.3K 23 3
                                    

"Makasih, kak. Nggak nyangka kamu beneran bikinin gol buat aku," kata Linn. Mereka sedang mamam bakso sepulang dari lapangan.

Di depan Linn, Adi memandangnya keki.

"Tapi aku salut sama kamu. Habis nyetak gol nggak selebrasi berlebihan, apalagi yang sampai peluk-pelukan sesama pemain yang padahal sejenis. Kan bisa dikira homo."

"Emang kalau aku kayak gimana?" tanya Adi setelah menelan kuah bakso tanpa dikunyah.

"Kalau kamu tadi tetep tenang, nundukin kepala, melangkah santai. Pokoknya cool."

"Aku tadi begitu karena gol yang kubuat itu ke gawang sendiri. Gol bunuh diri, Sayang. Huft..."

"Pendek banget jalan pikirannya sampai bunuh diri," kata Linn yang wawasan sepakbolanya memang sangat mengecewakan.

"Udah ah. Cukup sudah pertanyaan untuk hari ini. Menurutku lebih cantik sekarang kamu segera selesain makannya, abis itu kita pulang ke rumah. Nggak baik berantem di warung," kata Adi melihat bakso Linn yang baru habis separuh. Padahal punya Adi sudah habis dari tadi. Mangkoknya saja sampai terlihat bersih dan kesat kayak habis disunlight.

Selesai makan dan melakukan pembayaran, Adi menggandeng Linn keluar.

Sampai di luar, tiba-tiba Adi terperanjat singkat kayak kesetrum aki. Tak disangka-sangka, ia berpapasan dengan salah seorang personil Gebrack! Adi buru-buru melepas tangan Linn dari genggamannya.

"Nih siapa Di?" tanya Woko memandangi Linn.

"Eng... Adik aku," jawab Adi sebisa mungkin terlihat tenang, agar Woko tidak semakin curiga.

Woko menatap muka Adi dan Linn bergantian. Mencoba mencari kebenaran atas pengakuan Adi. "Adik kamu bukannya Yonah, Yonah, siapa itu? Ini kok beda? Baru ganti adik?"

"Emm... Bukan adik kandung sih. Ini anaknya adek nenek pamannya ibu keponakan bu dhe-nya bibi ayah aku."

Wajah Woko tampak stress dan frustasi. Pusing sendiri memikirkan silsilah yang disebutkan Adi.

"Kamu sendiri ngapain di sini?" Adi ganti bertanya.

"Mau bantuin jualan. Ini kan warung bakso Bapakku, Di."

Adi tercengang setengah tak percaya. Ia memang sudah lama tahu Woko anak tukang bakso, tapi baru sekarang tahu tempat berjualannya. Adi kemudian tersenyum, paling tidak ia sudah mendapat pengetahuan baru.

"Yaudah, Ko. Aku duluan. Soalnya buru-buru banget nih mau nonton reportase sore," pamit Adi sambil berlalu. Diikuti Linn dengan wajah cemberut.

"Kita langsung pulang atau ke mana lagi nih?" basa basi Adi sesampainya di motor. Sebenarnya hanya ingin ngetest apakah Linn marah atau tidak karena barusan tidak diakui sebagai pacar.

"Siapa itu tadi?" tanya Linn jutek.

"Oh itu Woko. Lengkapnya Fandy Purwoko. Temen ngeband di Gebrack sekaligus mantan temen kuliahku. Dia berhenti kuliah gara-gara...

"Kakak malu punya pacar cantik?!" potong Linn menatap Adi tajam.

Kekhawatiran Adi menjadi kenyataan. Linn marah. Adi tertunduk ngeri. Tak berani membalas tatapan Linn yang begitu tajam, takut matanya tersayat.

Tangan Linn memegang rahang Adi, diangkatnya wajah itu kembali ke posisi saling tatap. "Kenapa nunduk? Ayo jawab, Sayang."

"Sayang, kita kan sedang menjalani pacaran sembunyi-sembunyi?" jelas Adi dengan suara parau.

"Tapi kan sembunyi-sembunyinya cuma dari Yonah dan sekitarnya aja, Sayang. Bukan ke semua orang!"

"Buat jaga-jaga, Sayang. Siapa tau aja ntar Woko cerita ke Yonah."

"Enggak mungkin, Sayang. Nggak mungkin!" tampik Linn tak percaya. Ia yakin, andai ada kejuaraan ngeles tingkat provinsi Palembang , Adi bakal jadi juara pertama!

"Aku hanya berusaha meminimalisir resiko. Bisa aja Woko cerita ke bapaknya, bapaknya cerita ke istrinya, lalu besoknya ibunya pergi ke pasar dan bercerita ke orang-orang pasar tentang hubungan kita. Dan pada saat itu ibuku juga di pasar, trus dilaporin deh ke Yonah."

Linn buang pandangan ke jalan raya. Bete berat! Pengen rasanya menjambak Adi kemudian menggesekkan mukanya ke aspal. Tapi Linn khawatir nanti Adi malah berubah jadi ganteng banget.

"Beb..."

Linn tak menyahut.

"Bebi..."

"Nggak denger!"

Adi tertawa tanpa suara. "Jangan dikit-dikit marah gitu kenapa sih? Nanti kamu cepet tua lho. Emang kamu nggak pengen kita berdua menua bersama-sama?"

Linn mingkem sekuat tenaga. Berusaha tidak tersenyum.

--~=00=~--

Di sekolah pagi-pagi, padahal Linn baru saja memakirkan motor, Rein sudah datang menemuinya dengan tampang tidak bahagia.

"Berkali-kali kutelepon nggak diangkat. Di-whatsapp juga cuma dibaca. Kenapa sih, Linn? Keberatan?" cecar Rein. Ternyata dia memang lagi kesal.

"Emm. Iya. Dikit," jawab Linn. "Coba bayangin deh, Rein. HP-ku tuh ya, lagunya aja ada 2013, belum video, belum lagi gambar-gambar, udah gitu pulsanya banyak, wajar kan kalau berat?"

"Lucu?"

"Enggak," Linn menggeleng sambil menahan senyum.

Rein menyemburkan nafas kesal. "Kenapa sih jadi cuek gini sama aku?"

"Cuek apaan? Biasa aja kok," sahut Linn menatap Rein sebentar, lalu berjalan meninggalkan parkiran menuju kelas.

"Linn," panggil Rein berjalan membuntuti Linn.

Langkah Linn semakin dipercepat kayak orang mau ngambil gajian. Ia pura-pura budek.

"Alinna!" Rein memanggil lagi, lebih keras.

Linn yang sudah hampir tiba di depan kelasnya itu terpaksa berhenti, kemudian balik kanan menghadap Rein. "Sudahlah, Rein. Mulai menit ini sebaiknya kamu nggak usah terlalu perhatian ke aku. Percuma!"

Setelah itu Linn langsung memasuki kelas tanpa menghiraukan Rein lagi.

"Kasian tau. Dia jauh-jauh dari luar negeri demi kamu," kata Yonah yang tadi sempat melihat adegan Rein dan Linn melalui layar kaca jendela.

"Gombalan kayak gitu dipercaya?" gumam Linn tersenyum sinis.

"Padahal waktu pertama kali dia datang kamu seneng banget."

"Udah ah, nggak usah bahas dia. Nggak penting. Mending sekarang kita membahas Indeks Harga Saham Gabungan aja yang lebih berbobot...."

"Dengar ya, Linn. Kalau alasan kamu menolak Rein hanya karena ingin ngebuktiin kalau kamu udah berubah, itu gak mengubah apapun. Aku tetap nggak akan merestui kamu mendekati kak Adi."

Linn hanya termangu. Tatap matanya sendu ke arah whiteboard di depan kelas.

"Lebih baik jadi diri sendiri seperti biasanya. Seorang Linna yang suka menggoda cowok-cowok, yang bisa punya pacar sekaligus tiga, yang ingin punya mantan banyak. Sekarang ini kamu hanya menyamar, menyamar menjadi jadi orang lain untuk sebuah kepentingan. Modus!" lanjut Yonah.

Duduk Linn berubah bersandar dengan posisi setengah berbaring. Kepalanya menatap langit-langit kelas. Ditolehnya Yonah sebentar, "Jadi diri sendiri emang penting. Tapi sekarang aku sadar, menghargai orang lain jauh lebih penting."

Yonah terdiam. Sedikit heran dengan pola pikir Linn kali ini.

"Ntar sore kumpul yuk. Sekalian ngerjain tugas akuntansi," kata Dewik menetralisir suasana.

"Di rumahku aja. Biar kalau ada soal yang gak ngerti, kita bisa nanya-nanya ke kak Adi. Dia jagonya tuh itung-itungan," tawar Yonah.

"Jam berapa kumpulnya?" Dewik bertanya.

"Maunya jam berapa?" Yonah balik bertanya.

"Gimana kalau jam tiga?"

"Tambah tigapuluh menit ya. Jam setengah empat?"

Linn tak ikut urun rembuk, tapi ikut apapun hasil keputusan mereka.

--~=00=~--

Cerpen romantis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang