Kenapa tidak mungkin?

40.3K 3.5K 212
                                    

Met pagi...
Ini repost untuk hari ini. Untuk readers yang baru baca, atau yang rajin ngulang baca lagi... maacih!

Enjoy....

Mikaela menunggu dengan sabar di motornya sambil terus menerus memandang ke arah pintu masuk klub eksklusif para pengacara yang biasanya ramai pada jam-jam segini. Di tangannya ada kamera Leica, hadiah ulang tahun dari Monik, yang sewaktu-waktu siap dibidikkan, sementara di balik kemeja kotak-kotaknya, sebuah recorder siap diaktifkan hanya dengan menekan sebuah tombol yang sudah dihapalkan letaknya tanpa harus dikeluarkan dari tempatnya.

Sore itu Mika berpenampilan layaknya seorang mahasiswa tomboi, dengan kemeja kotak-kotak yang menutupi lace top berwarna hitam, dan topi bertuliskan Brand, yang lusuh dan membuatnya makin terlihat tomboi. Meski demikian, wajah manisnya tetap menarik bagi beberapa pria yang lewat dekat motornya, dan meliriknya. Melihat gayanya yang acuh dengan kamera yang lumayan berat, dan tubuh langsing namun berisi, yang tidak bisa disembunyikan oleh kemeja longgarnya, dia adalah magnet bagi kaum pria normal. Termasuk seorang pria yang sedang berjalan keluar dari klub.

Saat melihat pria itu, Mika spontan mengangkat kameranya, dan memotret, membuat pria tampan dan ramping itu tersenyum. Dengan langkah anggun, pria itu mendekat, lalu menyilangkan lengannya di dada.

"Aku tau aku ganteng, Mikaela. Tapi kayaknya kau tak usah lah diam-diam motret aku, karena aku oke saja kok di foto terang-terangan," pria itu berkata geli dengan logat Bataknya yang khas.

Mika menurunkan kameranya, lalu tersenyum tipis. "Yang diem-diem lebih alami, jadi kamu enggak sempet pose dulu...." sahutnya santai, lalu kembali memotret.

Pria itu, Rolland Simangunsong, putra dari Hotman Simangunsong, dan juga pengacara yang ikut menangani kasus yang menimpa ayah Mika, tertawa lepas menanggapi kalimat Mika. Saat Mika siang tadi menghubunginya dan minta bertemu, Rolland memang sudah seperti mendapat undian saja saking gembiranya. Dan meski jadwalnya padat, dia tidak ragu untuk mengiyakan ajakan bertemu Mika, karena sudah lama pria Batak yang tampan ini menaruh hati pada gadis cuek yang sedikit galak itu.

"Enggak lama kau menunggu, kan?" Tanya Rolland.

Mika menggeleng. "Belum terlalu," jawabnya. "So.... bisa kita jalan sekarang?"

Rolland mengangguk mantap. "Sure. Kau mau kemana?"

"Kemana aja.... yang penting bisa makan kenyang."

Rolland tertawa. "Oke..... kalau di klub saja, gimana?"

"Boleh. Tapi berarti kamu harus balik ke dalem dong..."

"Tak papa, lah. Paling Bapak juga masih di dalam. Kau mau ketemu?"

Mika tersenyum tipis. "Aku pingin ngomongnya sama kamu...ngapain ketemu Bapak kamu?"

Rolland tertawa lagi. Hangat dia melingkarkan lengannya di bahu Mika, lalu membawanya memasuki klub pengacara itu.

Untuk beberapa detik Mika terpesona dengan tampilan dalam klub yang cukup mewah. Dengan mata melebar dia melihat sekeliling, dan mendapati beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya. Dia tersenyum sendiri, pasti karena pakaiannya yang tidak cocok dipakai ke tempat eksklusif begini. Tapi sekalipun dia cuek, dan malah cenderung puas karena bisa berpenampilan berbeda, tapi ada Rolland yang harus dipikirkannya.

"Eh....Rolland, enggak papa kan aku pake baju gini?" Tanyanya berbisik.

Rolland tersenyum. "It's okay, Mika. Kau tetap cantik biar pakai karung goni," jawabnya.

Mika hanya mengangkat alis. Baguslah jika Rolland berpikir begitu, berarti dia tidak harus merasa bersalah. Penuh percaya diri, dia berjalan mengikuti Rolland yang menuju ke sebuah meja kosong yang ada di dekat pohon palem hias yang cukup besar. Sopan layaknya pria sejati, Rolland menarikkan sebuah kursi untuk Mika.

The Lawyer Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang