BAB 1

81 9 1
                                    


Mimpiku itu terpotong ketika bos meneleponku pada Sabtu pagi.

"Ina! Cepat bangun! Ada tugas untuk kau hari ini!" Dia berteriak seolah tidak ada orang disekitarnya. Aku tahu dia sedang berada di bandara, menuju Jepang. Untuk apa? Entah. Mungkin untuk liburan. Sementara itu semua tugasnya dilimpahkannya kepadaku. Sangat menyenangkan!

"Apa lagi sih bos?!" Aku tuh baru bangun! Kemaren juga udah telpon-telpon! Kenapa lagi?!" Aku menguap, tanda masih mengantuk dan mengecek waktu. Pukul setengah enam pagi. Dasar kutu!

"Gak kok, nggak kenapa-kenapa lagi." Jawabnya dengan nada sarkastik. Mendengar nada bicaranya, aku langsung tahu apa yang Ia maksud.

"Tidak mau! Ga! Gak mau! Aku gak mau pergi! Dasar ku-" Hinaanku terpotong saat tiba-tiba bos berkata,

"Kamu harus ke Sentul! Bahan presentasi, mobil, dan supir sudah menunggu di kantor! Sudah ya! Dadah!" Si Kutu menutup telepon dengan mudahnya. Meninggalkanku dan segunung pekerjaannya di Jakarta.

Sentul? Yasudahlah. Aku akan pergi ke Sentul. Lagipula, sudah lama aku tidak ke sana.

Sambil mendesah, aku turun dari tempat tidurku. Setelah menyeduh teh dan melakukan hal-hal lain, aku siap untuk pergi.

_____

Sesampainya di kantor, seperti biasa, para karyawan menyapaku,

"Pagi, kak."

Aku hanya membalas mereka dengan senyuman.

Aku masuk ke dalam ruang kerjaku, dan melihat setumpuk kertas di atas mejaku. Aku tahu ini ulah si Kutu. Jelas, dia benci mengurus pekerjaan ini. Ini hanyalah peninggalan dari ayahnya. Ia bahkan tidak menunjukkan ketertarikannya terhadap majalah ini.

Aku membaca tumpukan kertas itu sekilas. Ku ambil beberapa yang penting dan segera pergi ke Sentul.

"Pak, Pak, kita ke Sentul, ke mananya, ya?" kutanya Pak Supir.

"Ke floating market nya mbak, itu katanya Mas Dikta, sih." Jawabnya.

_____

Aku ingat tempat itu. Dia memang tidak bersamaku saat itu. Tetapi teknologilah yang menghubungkan kami. 

Deja VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang