BAB 3

49 5 0
                                    

Sepulang dari meeting, aku pulang ke rumah. Aku ingin kembali tidur. Tetapi sepertinya, aku tidak akan melakukan hal itu hari ini. Tepat sebelum aku kembali tidur, aku mendapat teletpon, dari Mama.

"Halo, Drin. Kamu dimana?" tanya Mama.

"Di rumah, Ma. Baru pulang dari meeting." Aku menguap, karena lelah.

"Oh, kalau gitu, jam 5 kamu ke sekolah adik kamu, ya."

"Lah, kenapa, Ma?" Aku bingung mendengar permintaan Mama.

"Ini, Mama sibuk. Jadi gabisa dateng ke pentas seni adek kamu. Papa ikut Mama. Jadi kamu aja, ya?"

"Um, yaudah. Andrin pergi. Kataku dengan berat hati. Tetapi, karena aku jarang bertemu Ezra, adikku, aku memutuskan untuk pergi.

"Oke. Dadah, Drin."

"Dah, Ma."

Aku melihat bahwa sudah jam dua. Aku punya waktu untuk siap-siap. Bagaimana dengan tidur? Sudahlah. Lupakan tidur. Aku harus siap-siap.

Aku kembali berdiri dan mandi. Aku mencuci rambutku. Dan seusai itu, kucatok sendiri. Aku tidak suka pergi ke salon. Kalau aku bisa melakukannya sendiri, mengapa tidak?

_____

Aku memakan waktu sekitar dua jam untuk bersiap-siap. Aku berangkat dari rumah pukul 4.15. Sesampainya disana, aku segera memarkirkan mobilku. Pentas seni Ezra digelar di sekolah lamaku. Jadi aku tidak perlu repot untuk mencari aula kesenian.

Aula tersebut terletak cukup tinggi, maka aku memutuskan untuk memakai lift. Bersama dengan delapan orang lainnya. Sesampainya di aula, aku mengambil tempat duduk dimana sudah tercantum tulisan 'ORANGTUA EZRA'. tersedia dua kursi, aku mengambil tempat duduk yang lebih ditengah agar bisa menonton dengan baik.

_____

Pentas seni. Mengingatku kembali ke salah satu kebahagiaan sederhanaku. Hal ini lucu, karena sudah dua kali aku mengenang hal-hal seperti ini, dalam satu hari.

Kenangan ini berseling tidak lama dari kenangan Sentul. Saat itu, aku dan Eran masih merupakan teman bermain dan ingin menjodohkan teman kami. Seperti mak comblang saja.

"Ayo. Keluar dulu. Please!" Aku memohon kepada tmanku, Dara, yang saat itu menyukai teman Eran, Andan.

"Tidak mau! Ina!" Dara membalasku dengan ikut memohon.

"Aku bosen! Dara!" Ku terus memohon.

Aku adalah orang yang pantang menyerah. Aku akan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang aku mau. Dan terkadang aku tidak suka itu. Setidaknya, sekaran sudah tidak lagi.

Dara pun menyerah. Aku menang. Kutarik dia keluar. Kami memutari satu lantai itu dengan kostum tari kita. Setelah beberapa putaran, Eran dan Andan pun terlihat melakukan hal yang sama dengan kami. Aku terus menarik Dara, begitu pula Eran kepada Andan. Hingga di ujung lorong, aku dan Eran berteriak. Kami bertemu di ujung lorong dan hampir menabrak satu sama lain.

Ketika aku kembali ke ruang para penari, kostum kami sudah tidak seindah sebelumnya. Yah, bisa dikatakan sudah agak rusak.

"Ina! Dara! Apa yang terjadi dengan kostum kalian?!" Bu Nur, guru nari kami bertanya.

Kami hanya berdiri, diam, menahan tawa.

"Aduh! Lihat! Makeup kalian juga luntur! Kok kalian bisa keringetan sih?!"

Omelan Bu Nur terus berlanjut. Tapi, sebetulnya aku tidak terlalu peduli dengan itu. Aku masih tersenyum lebar mengingat diriku dan Eran berhasil menarik Andan dan Dara. Hatiku berdegup sangat kencang saat tiba-tiba aku teringat bahwa aku hampir menabrak Eran. Degupan hatiku itu cukup untuk membuat diriku merona.

"Bu Nur, Bu Nur, apakah tim nari siap tampil?" salah satu crew backstage bertanya. Bu Nur berhenti mengomeli kami dan menoleh,

"Eh ya? Sebentar!" dengan cekatan, Bu Nur segera memoles makeup lagi di wajah kami dan mulai mengumpulkan murid-murid tari lainnya.

Sudah hampir waktunya tampil. Crew backstage memimpin kami ke belakang panggung. Aku tersenyum menyikut Dara saat meliha Eran, Andan, dan teman-teman drumband mereka turun dari panggung. Ini berarti giliran tim nari untuk naik dan tampil.

Eran dan Andan yang melihat kami tersenyum dan melambai kecil pada kami. Ingin sekali kukatakan kepada Eran bahwa ia tampil dengan baik, tetapi waktu tidak mengijinkanku.

"Tim nari! Silahkan memasuki panggung!"

Dengan itu, aku, Dara, dan teman-teman nari yang lain memasuki panggung. Suara alat-alat musik ansambel mengiringi tarian modern kami. Tarian kami diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah. Dengan wajah ceria, kami turun dari panggung.

"Eran? Andan? Apa yang kalian lakukan disini? Apakah drumband akan tampil lagi?" Dara bertanya saat melihat Eran dan Andan berdiri besisian. Andan merona malu, sedangkan eran tersenyum manis. Mereka berjalan mendekat ke arah kami.

"KALIAN MENARI DENGAN BAIK!" Dengan muka tersipu malu, Andan langsung berlari keluar dari belakang panggung. Dara mengangkat alis, tanda bahwa ia bingung. Eran tertawa.

"Eran, apa yang terjadi dengan Andan?" sekarang giliran Eran yang merona malu.

"Sampai nanti, kawan-kawan. Nina, kau menari dengan baik." Eran berkedip dan segera mengejar Andan.
_____

Aku tersenyum, setelah mengenang kebahagiaan itu. Betapa polosnya kami berdua. Aku dan Eran. Hanya mengenal yang namanya suka. Tidak ada niat untuk menyakiti hati, tidak ada niat untuk saling membeci.

"Lima belas menit sebelum mulai," pengumuman diumumkan.

Aku masih tenggelam dengan susunan acara yang diletakkan di kursi yang kutempati. Aku bisa melihat nama Ezra sebagai pemain drum. Dia memang mendapatkan talenta itu. Ibu memaksakannya untuk bisa bernyanyi. Tetapi, apa boleh buat, tidak ada talenta bernyanyi dalam darahnya.

Aku masih melihat susunan acara ketika seseorang memanggilku,

"Andrin? Nina Andrin?" seorang laki-laki menatapku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Deja VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang