BAB 2

56 7 0
                                    


"Ce.. Kamu mau makan apa?" Tanteku yang sedang duduk disampingku bertanya. Untuk sementara, aku memalingkan wajahku dari samsung S4 yang kumiliki.

"Mie bakso aja, Auntie." Jawabku lalu kembali terfokus ke telepon genggamku. Aku sedang chatting dengan teman mainku, Renaldo Eran Soetjipta.

Aku tidak mengingat siapa yang pertama memulai percakapan, tetapi setiap percakapan tulisan kami berawal dengan kata 'hi'. Untuk itu, kugambarkan saja bahwa aku yang memulai.

Aku: Hi

Dia: Hi

A: Ran

D: Ya?

A: Lu suka siapa?

Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan hal itu. Apakah karena aku mengharapkan dia untuk menyukaiku, atau karena alasan yang lain? Entah. Tetapi aku tahu, bahwa butuh keberanian yang sangat besar untuk menanyakan hal itu. Setidaknya, untuk anak seumuranku, seorang anak kelas 5 yang tidak tahu apa artinya cinta.

D: Knp? Lu suka siapa?

A: Lu dulu.

D: Ok. Depannya N

Jantungku berdegup kencang. Kenapa ini? Kenapa aku lebih memikirkan namaku dibandingkan nama-nama lain yang berawalan 'N'?

Aku pun mulai menebak nama-nama temanku yang berawalan 'N'. Tetapi, tidak ada yang benar.

A: Nina? Gw?

D: Ya engga lah!

A: Trus siapa?

D: Ninda.

A: Siapa tuh?

D: Teman kompleks.

Hatiku mencelus saat ternyata yang Eran sukai adalah Ninda, teman satu kompleksnya. Kenapa aku menjadi terlalu berharap? Siapa Eran bagiku? Atau, siapa diriku bagi Eran?

D: Lu suka siapa?

Dari pertanyaan ini, pikiranku menjadi licik. Aku pun memutuskan untuk berbohong.

A: J depannya J.

D: Um, Justin?

A: Bukan.

Sama sepertiku, ia juga menebak banyak sekali nama. Tetapi, tidak ada yang benar.

A: Jerry.

D: Siapa itu?

A: Temen, dr Singapur.

Aku sadar bahwa aku berbohong. Entah kenapa aku melakukan hal itu. Untuk menbuat dia cemburu, mungkin.

D: Gw boong.

A: Hah?

D: Gw suka lu.

Aku bisa merasakan betapa bahagianya hatiku. Kata suka itu terbaca dengan sangat indah.

A: Oo, gw juga suka lu.

Sejak saat itu, aku bertemu dengan penyemangatku ke sekolah. Aku percaya, dia sedang tersenyum juga saat itu. Hal ini tidak repot. Salah satu kebahagiaanku yang sederhana, cukup untuk menyemangati hariku.

_____

"Mbak, Mbak Ina, jangan melamun terus dong, Mbak. Sudah sampai ini." Pak Supir membangunkanku dari lamunanku.

"Eh, iya. Makasih, Pak." Aku mengambil tasku dan segera keluar dari mobil.

Kulihat bahwa floating market itu tidak berubah. Bahagia rasanya melihat kenangan indah yang tidak berubah.

"Selamat datang, Kak Ina. Bos menyuruh kemari, ya?" Tanya salah satu bawahanku di kantor yang sudah sampai lebih dahulu.

"Eh, iya. Meetingnya, sudah mulai?" Aku bertanya.

"Belum, Kak. Sebentar lagi, mungkin. Tamu-tamu yang lain juga, baru berdatangan." Katanya sambil melirik ke arah pintu masuk.

Aku dan Ika, bawahanku, menunggu sekitar tiga puluh menit sampai akhirnya mereka memanggil para tamu untuk berkumpul.

_____

Aku membawa presentasiku dengan baik. Bukan karena aku sudah terlatih atau apapun, melainkan aku sudah terbiasa dengan bahan yang kubawakan. Selama ini, bahan yang Bos berikan hanyalah itu.

"Terima kasih atas perhatiannya.." Semua orang di ruangan itu langsung bertepuk tangan.

"Bagus, Kak, presentasinya. Padahal, baru tahu pagi ini, kan?" Ika memujiku.

Aku hanya bisa tersenyum, menahan tawa bahwa Ika tidak tahu kalau bahan ini sudah dipresentasikan beratus-ratus kali.

Deja VuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang