4. LINGGA: Indonesia! Indonesia!

256 36 13
                                    

Putaran ketiga adalah pertaruhan besar-besaran. Aku mempertaruhkan staminaku. Kalau saja, aku memenangkan putaran pertama, aku bisa memulihkan energiku di putaran kedua. Sehingga kalaupun aku tidak memenangkan putaran kedua, aku bisa bertarung habis-habisan di putaran ketiga dengan stamina penuh. Tapi kupikir, peluangku untuk memenangkan putaran ketiga pun cukup besar. Tubuhku sebugar biasanya, dan fokusku maksimal. Aku juga sudah mengenal ritme permainan lawanku. Dan, Ayah, ada di kursi penonton. Ibu, Ayzel, dan Aksel sedang duduk di depan televisi di rumah kami. Guh, Gilang, Abhy, pasti sedang panas dingin, di mana pun mereka berada. Aku sudah memiliki semua yang kubutuhkan untuk memenangkan emas malam ini.

Separuh putaran ketiga berjalan lambat. Pemain China mendesakku bermain di reli-reli panjang agar staminaku terkuras. Jika mendapatkan serve, aku memanfaatkannya dengan bermain sesuai gayaku. Aku unggul di tempo permainan cepat. Aku bisa membaca permainan dengan baik dalam ritme tinggi. Permainan reli panjang sangat menguji kesabaranku. Aku hanya melakukannya sesekali, untuk mendapatkan fokusku kembali. Lawanku memimpin di tiga per empat putaran ketiga. Skor sementara 17-10. Selisih yang cukup jauh. Aku harus mendapatkan serve agar dapat menguasai tempo permainan.

Shuttlecock melambung tinggi. Lawanku masih menjaga ritme permainannya yang lambat. Aku sudah muak. Aku melakukan smash ringan dengan tipuan kecil. Shuttlecock menghantam puncak net sebelum akhirnya bergulir pelan menyeberangi net dan jatuh ke lapangan pemain China. Si Pemain China Ambisius terlambat mengantisipasi kemungkinan buruk itu sehingga langkah lebarnya menuju garis depan tidak membuahkan hasil. Shuttlecock jatuh dengan dramatis tepat di hadapan raketnya.

Aku mendapatkan serve dan dengan cepat menyamakan kedudukan. Aku mempertahankan tempo permainan cepat hingga aku mengungguli pemain China 21-17. Dia berhasil merebut serve setelah trik netting-nya berhasil mengecohku.

Pemain China kembali menerapkan permainan reli-reli panjang. Tapi aku tidak ingin meladeninya. Setiap kali pukulannya melebar, aku akan mengembalikannya ke depan net. Tapi dia terus memancingku dengan pukulan-pukulan yang mendekati garis luar hingga aku harus sering-sering berlari ke belakang. Dan dia akhirnya berhasil mengungguliku dengan gaya bermainnya. Skor menjadi 24-23. Kuputuskan untuk membuatnya melakukan itu hingga dia teledor mengukur kekuatannya sendiri. Ketika pukulanku jatuh di depan net, si Pemain China mengarahkan shuttlecock melewati garis luar. Dia yakin, shuttlecock berada di dalam garis dan berharap aku mengabaikannya. Tapi aku memiliki perkiraan yang lebih akurat. Aku memenuhi harapannya untuk mengabaikan shuttlecock. Karena aku tahu, shuttlecock memang jatuh tepat di sisi luar garis. Aku mendapatkan serve dan skor menjadi deuce: 24-24. Aku tidak ingin skor menjadi deuce berulang kali. Jadi, aku mengendalikan permainan. Aku harus memenangkannya sekarang juga.

Pemain China menjadi lebih gugup. Dia mendesakku untuk bermain dalam reli-reli panjang tapi tidak lagi berani mengarahkan shuttlecock terlalu jauh ke belakang. Aku meladeninya. Kuarahkan shuttlecock jauh ke belakang. Dia mengabaikannya. Tapi perkiraannya salah. Shuttlecock jatuh tepat di garis. Skor menjadi 25-24. Pemain China berusaha untuk tampak tenang, tapi aku tahu dia sangat gugup. Aku kurang berpengalaman dalam perang psikologis semacam ini. Tapi aku tahu, Ayah sedang berdoa untukku di kursi penonton. Aku juga membawa doa dan harapan orang-orang Indonesia di pundakku. Karena itulah, aku harus menang. Mengingat hal itu, aku semakin bisa memusatkan perhatianku pada permainan. Shuttlecock terlontar cepat dari raketku. Pemain China mengembalikannya dengan cepat. Aku mendapatkan ritme permainanku dan Pemain China terpaksa mengikutinya. Kami bermain dengan intens dalam reli-reli pendek. Aku mempertajam fokus. Pemain China tampak sudah kehilangan kepercayaan dirinya. Kuperkirakan, usianya hanya beberapa tahun terpaut di atasku. Setidaknya, kami memiliki usia mental yang tidak jauh berbeda. Aku yakin, dia juga sama terbakarnya dengan aku saat ini. Tentu saja dia masih bisa merebut serve dan membalikkan keadaan. Tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia mengarahkan shuttlecock jauh ke sisi kiriku. Kukembalikan shuttlecock jauh di sisi kirinya, agak ke belakang. Kupikir, itu akan cukup mempersulitnya untuk mengembalikan pukulanku dengan akurat. Tapi Pemain China sudah menunggu shuttlecock di sisi kanan dekat net karena berpikir aku akan melakukan netting. Dia terlambat mengantisipasi arah pukulanku sehingga shuttlecock yang mengarah ke garis belakang tidak sempat terkejar olehnya. Shuttlecock jatuh tepat di garis in sebelum Pemain China sempat menyentuhnya. Dia tertawa getir, menyadari keteledorannya yang baru saja melemparkan medali emas ke pihakku.

Teriakan "Indonesia! Indonesia!" menggema di sekeliling lapangan indoor. Pemain China menyalamiku, kami saling menepuk pundak sebelum meninggalkan lapangan. Aku berlari menuju pelatihku yang sudah merentangkan tangan tak jauh dari tepi lapangan. Teriakan pendukungku semakin menggila. Pelatihku mengusap kepalaku dengan kuat. Di suatu tempat di kursi penonton, ayahku menyeka ujung matanya degan lengan kaosnya yang bertuliskan "Indonesia". Di atas tulisan itu ada gambar wajahku yang tersenyum.

***

Everybody's Boy & A Lone GirlWhere stories live. Discover now