2. LINGGA: Ayahku Memakai Kaos Bergambar Diriku

260 42 34
                                    

Shuttlecock melambung tinggi di atas kepalaku. Sekilas wajah Ayah terlintas. Bagaimana ekspresinya ketika dia memperhatikanku di bangku penonton sekarang? Orang-orang meneriakkan "Indonesia! Indonesia!". Aku teringat Ibu, Ayzel, dan Aksel di rumah. Mereka pasti sedang duduk dengan tegang di depan televisi. Guh, Abhy, dan Gilang saat ini, mungkin, sedang berkumpul di kamar Gilang dan mengawasiku dari atas tempat tidur Gilang. Atau mungkin, mereka sengaja menonton pertandingan finalku di kafe yang ramai dikunjungi mahasiswa Universitas Nasional--yang terletak tidak jauh dari rumah Guh, agar mereka bisa tebar pesona pada mahasiswi-mahasiswi berwajah manis sambil pamer kalau yang saat ini sedang melompat dan menghantam shuttlecock ke lapangan lawan adalah teman mereka. Teman mereka yang payah dalam matematika tapi tidak pernah berada di belakang siapa pun jika sedang berlari di lintasan sprint sekolah.

Shuttlecock menghantam net ketika pemain China mencoba mengembalikan pukulan smash dariku. Kudengar namaku diteriakkan dari bangku penonton. Itu bukan suara Ayah. Aku menyimpan senyumku dalam hati. 

Lawanku adalah pemain yang menempati posisi 4 di peringkat dunia. Peringkatku tertinggal sangat jauh di bawahnya. Melihat gaya bermainnya, siapa pun tahu, dia layak berada di posisi itu. Permainannya sudah sangat menekanku sejak awal putaran. Tapi aku sedang berada dalam performa terbaikku, sehingga aku bisa mengimbanginya meski berakhir dengan kekalahanku di putaran pertama. Dan yah, itu membuatku sedikit gugup. Tapi tahun-tahun berlatihku mengajarkan untuk optimis sampai permainan berakhir. Maka, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa putaran kedua adalah milikku. Pemain lawanku tertinggal sepuluh poin dariku, dengan serve berada di pihakku. Sekarang match point. Aku hanya membutuhkan satu angka untuk memenangkan putaran kedua. Dan yang harus kulakukan adalah bermain sesantai mungkin. Berusaha agar dia tidak menemukan celah di lapanganku.

Shuttlecock melayang menyeberangi net. Pemain China berusaha menekanku dengan ritme permainannya yang cepat. Kami bermain di reli pendek. Dia berusaha merebut serve. Tapi kupastikan itu tidak akan mudah. Dia sudah menguras tenaganya untuk memenangkan putaran pertama. Dari matanya aku tahu, dia tahu aku aku akan memenangkan putaran kedua. Aku melakukan pukulan netting yang mengecoh. Lawanku menyerah dan akhirnya mengembalikan pukulan dengan keras. Shuttlecock melayang jauh di atas kepalaku. Aku melompat dan menghantam shuttlecock. Lawanku membaca arah pukulanku dengan akurat lalu mengembalikan dengan baik. Shuttlecock melambung tinggi sekali lagi. Aku mengunci target arah pukulanku. Aku menghantam shuttlecock, mengarahkannya ke sisi kiri tubuh lawanku, sedikit agak ke belakang.

Ayah, Ayah lihat ini? Perhatikan baik-baik bagaimana Lingga akan mengakhiri ini.

Pemain China mencoba mengembalikan pukulanku. Untuk sesaat dia tampak agak panik. Sehingga pukulannya tidak akurat. Shuttlecock mengenai tepian raketnya dan melayang ke luar lapangannya sendiri. Kursi penonton riuh dengan seruan, "Indonesia! Indonesia!". Aku berjalan ke luar lapangan. Tersenyum pada Ayah yang bertepuk tangan di bangku penonton, untukku. Ayah mengenakan kaos putih yang sama dengan yang dikenakan penonton lain yang juga mendukungku. Kaos itu bertuliskan Indonesia, dan ada gambar diriku di atas tulisan itu. Sebelum menghampiri pelatihku di tepi lapangan, aku melihat Ayah meletakkan tangan ke dadanya, menyentuh gambar wajahku. Gambar wajahku terletak tepat di dada Ayah.

***

Everybody's Boy & A Lone GirlDonde viven las historias. Descúbrelo ahora