Liabel

12.3K 1.7K 89
                                    

“Jadi kapan, Mas?”

Tora tak jadi menyeruput kuah supnya. Pernyataan sama——yang entah keberapa kalinya diulang sejak bulan lalu——itu keluar dari mulut wanita yang paling ia cintai.

“Tahun depan umur Mas udah 30, lho.” Kembali wanita di seberang sana menjadi provokator. Kalau sudah begini, pria di sebelahnyapun akan buka suara setelah melancarkan kerongkongan dengan air. Wah! “Temen-temen Bunda juga udah pada bawel, nanyain kapan Bunda punya besan.”

“Saya kan udah bilang berkali-kali, Bunda. Nanti aja.”

“Nanti, nanti, dan nanti. Selalu itu yang kamu bilang. Bunda kan udah nggak sabar. Pengin punya besan, pengin gendong cucu.”

Tora mengusap pelipisnya. Aih, betapa bosannya dia mendengar kata-kata itu! Pengin punya besan, pengin gendong cucu. Tidak adakah kalimat lain?

“Jangan terlalu pemilih, Mas.”

Nah, benar dugaan Tora. Setelah ayahnya mengeksekui segelas air, pria berjambang itu langsung membuka suara.

Dan kini, satu-satunya orang yang tutup mulut di ruang makan ini cuma adiknya, July. Gadis itu masih asyik melahap makanan. Tidak satu detikpun unsur tubuhnya tertarik untuk ikut percakapan.

“Coba sebutin kriteria pilihan kamu. Kali aja Ayah sama Bunda bisa bantu,” Bunda kembali berkicau.

“Untuk sekarang ini, saya belum mikirin pernikahan. Ada banyak hal yang harus saya urus, Bunda.” Tora mencoba bicara. Ketika melirik July yang masih anteng, ia yakin dirinya harus berjuang sendiri. “Jangankan soal istri, sekretaris aja belum nemu.”

“Sekretaris? Oh iya, Ayah baru inget!”

“Ayah, jangan ngomongin hal lain dulu,” Bunda mengingatkan.

“Masalah sekretaris juga penting, Bun.” Ayah tak mau disetir. Kalau ia ingin membicarakan kerjaan, maka Bunda yang harus mengalah. “Mas, sekretaris baru kamu udah bisa dipake besok. Tadi Ayah udah ketemu sama dia. Namanya Amanda.”

Tora agak kecewa. Aih, bukan Alean. Tetapi meski batinnya bicara begitu, ia tetap berkata, “Makasih banyak, Yah.”

“Omong-omong, soal pungli yang dibilang badan keuangan jadinya gimana?” Ayah tidak merasa berdosa padahal Bunda sudah memasang wajah kusut. Ayah, kenapa obrolan kerjaannya diterusin, sih? Barangkali itu yang mau diucapkan Bunda lewat tatapannya.

“Udah ketangkap, Yah. Ternyata bukan unit deployer di kantor kita.”

“Terus unit deployer di mana?”

“Di cabang rajawali. Dia manipulasi identitasnya pake kantor kita. Dan juga, punglinya udah dari dua bulan lalu, makanya langsung aja dipecat.”

Ayah mengangguk seakan mengerti. Sebelum ia melanjutkan obrolan, dua kaum hawa di ruangan ini berdiri serentak. Mereka izin ke kamar masing-masing. Mungkin sudah kenyang, mungkin pula tak tertarik pada percakapan para lelaki ini.

“Yaudah, kita lanjutin ngobrolnya nanti lagi. Bunda ngambek, nih.”

Ketika ayahnya beringsut, senyum si bibir Tora terbit. Ayah memang begini. Ia tidak mau melihat muka istrinya cemberut lama-lama. Padahal mereka bukan lagi sepasang muda-mudi, tapi tak ayal kemesraannya sering membuat Tora ngiri.

Kapan aku seperti mereka?

Bukan tak mau Tora membangun keluarganya sendiri. Hanya saja, ada dua alasan utama yang menyebabkan dirinya belum siap.

Alasan pertama, Tora belum melanjutkan pendekatan terhadap gadis idamannya. Sedangkan alasan kedua, ia terlalu muluk, perfeksionis.

Ia menginginkan pernikahan yang sempurna. Yang sebahagia orangtuanya. Cita-citanya ini sudah dicanangkannya sejak masih kecil. Setiap kali dirinya melihat figura-figura di tengah rumah, hatinya amat tersentuh. Terutama pada foto orangtuanya yang masih muda. Semua gambar itu menjelaskan seribu cerita di masa lalu.

TesmakWhere stories live. Discover now