Perimbangan Tak Berujung

11.7K 1.5K 193
                                    

Alean adalah satu dari sekian manusia yang benci akhir bulan. Pada tanggal tersebut, orang-orang lebih cepat emosi. Katanya sih, karna faktor D alias duit.

Meskipun Alean setuju tentang opini tersebut, ternyata ada alasan lain yang lebih rasional mengapa ia sangat benci tanggal tua. Yaitu, PMS. Suatu gejala di mana para wanita akan menggila dengan emosi antistabil ——seperti mudah tersinggung, gampang nangis, sulit membedakan antara laper dan baper sehingga munculah tindakan caper, bahkan senggol bacok pun bisa terjadi jika memang emosinya sudah tak bisa dikontrol.

Alean sudah merasakan gejala PMS-nya sejak semalam. Perutnya tak henti melilit dan perasaannya kacau balau. Apa-apa yang ada di depan mata rasanya bikin emosi. Dan karena itulah, sejak tadi bawaannya ingin ngamuk terus.

Hal lain yang memperkeruh perasaannya adalah ketidakhadiran Segara. Untuk suatu alasan, ia merasa mengkal lantaran pemuda itu tak memberi kabar. Memang sih, Alean tahu kalau Segara (mungkin) masih memulihkan lukanya, tapi masak iya pemuda itu tak mengabari sama sekali? Alean kan tetap butuh kepastian, apakah Segara mangkir magang karena masih sakit atau ternyata malah asyik pacaran dengan gadis-gadisnya?

Astaga! Kepastian apa, Alean? Jangan mikir yang aneh-aneh, deh! keluhnya dalam hati setiap kali pikiran tadi muncul. Dan ia merasa sangat malu karena merenungkan hal itu.

Tapi sudah tiga hari Segara tak memberi kabar, sisi lain dari hatinya kembali berkontradiksi. Biasanya kalau tak masuk, dia akan langsung lapor. Tapi kali ini, Segara sama sekali tak bilang.

Duh!

Alean merasa gusar. Sekali lagi ia salah tingkah terhadap pemikirannya. Dan untuk merehatkan diri serta mengurangi rasa nyeri di perutnya, ia pun bangkit dari kursi. Kebetulan kerjaannya tinggal finalisasi. Kebetulan juga waktu istirahat sudah datang.

“Kalian ini nggak percaya banget, sih? Segara emang nggak masuk.”

“Jangan bohong, Fen. Lo pasti sekongkol nyembunyiin Gara.”

“Cepet bilang di mana dia!”

“Kita bertiga harus ketemu Gara sekarag juga.”

Alean mendengar perdebatan sengit di balik pintu. Antara tiga sampai empat orang. Semuanya gadis, namun hanya  satu suara yang ia kenal. Yaitu Fenina.

Pelan-pelan Alean melangkah ke arah pintu. Dan ketika mereka masih mendebatkan masalah yang sama, pelatuk marahnya tiba-tiba menyala. Apalagi barusan perutnya kembali nyeri dilanda sindrom sebelum haid.

“Tad...” Fenina tak jadi melanjutkan omelan. Melihat muka judes Alean dan tatapan matanya yang mengintimidasi, seluruh pembendaharaan katanya langsung ludes.

“Ada apa?” tanya Alean sedatar wajahnya.

“Ngg... itu, Bu. Anu... mmm...”

“Ini kantor. Tolong jaga sikap kalian.”

Ketiga gadis di hadapan Fenina merasa ngeri. Tengkuk mereka langsung dingin dan bulu kuduk tiba-tiba berdiri. Duh, galaknya!

Tanpa berkata lagi gadis-gadis itupun lekas meninggalkan TKP. Menyisakan Fenina yang sedemikian kebat-kebit karena Alean menatapnya tanpa mengedip.

“Lain kali jangan bawa temen ke sini,” kata Alean tanpa mengubah nada suaranya.

“Iya, maaf, Bu.” Fenina membungkuk-bungkuk salah tingkah. “Tapi mereka bukan teman saya, Bu. Sumpah.”

TesmakWo Geschichten leben. Entdecke jetzt