.01. SUARA

160 16 4
                                    

Dia? Siapa Dia?

TIGA tahun yang lalu, aku melihatmu berdiri tegap layaknya seorang komandan yang sedang memimpin barisan. Dengan suara yang lantang, kamu meng—aba-aba—kan barisanku untuk memasang sikap siap.

Entah mulai dari kapan, aku menantikan hari itu. Hari dimana aku bisa berdampingan denganmu walau hanya sebatas danton dengan pengikut upacara. Yang aku ketahui saat itu hanyalah, kamu terlihat sangat gugup. Bahkan keringat yang bercucuran di pelipis kananmu terlihat jelas oleh pandanganku. Aku ingin tertawa, habisnya, mukamu lucu kalau dibuat-buat menjadi garang seperti itu. Terlihat bukan kamu yang seperti biasanya. Kamu yang selalu tersenyum, kamu yang selalu ramah, dan kamu yang selalu berhasil menarik medan magnet di dalam tubuhku.

"Upacara selesai, pasukan dibubarkan." Saat itu juga aku benci sang pembawa acara. Bagaimana bisa, upacara kali ini terasa begitu cepat dari biasanya? Oh tidak! Bahkan waktu saja terasa sangat cepat ketika aku berdampingan denganmu. Sial, aku tidak ingin bubar saat ini juga.

Sampai akhirnya, suara Cece berhasil membuatku tersadar bahwa siswa-siswi pengikut upacara sudah membubarkan dirinya masing-masing, "Gem, mau sampai kapan kamu berdiri disini terus?"

"Sampai dia engeh kalau ada aku disini nungguin dia."

Aku tahu pasti bagaimana wajah Cece sekarang, yang jelas aku sudah keceplosan berbicara tentang 'Dia' kepada Cece.

"Dia? Siapa Dia?"

"Dia yang selalu saja membuatku tertarik ketika aku melihatnya, dia yang selalu menari-nari dipikiranku saat dia membalas senyumku, dia yang selalu tersenyum. "

Plak!

"Aw! Cece! Kebiasaan banget sih, main pukul-pukul aja."

Cece mendengus, "Kamu pikir kamu itu apa? Kenapa masih pagi gini kamu udah kesambet, Gema?"

"Kamu tuh yang kesambet!" omelku, lalu aku berjalan menuju kelas mendahuluinya.

"Gema, tunggu! Kok aku ditinggal sih."

SuaraWhere stories live. Discover now