.02. SUARA

127 11 1
                                    

Memang, aku ini siapanya?

"Kenapa huruf S dekat dengan huruf D? Agar kita sadar bahwa 'suka' tidak pernah jauh dari kata 'duka'." —Fiersa Besari

🎼🎼🎼

MASIH di tiga tahun yang lalu. Sepulang sekolah, seperti biasanya, aku selalu pulang naik angkot dengan Cece. Berjalan kurang lebih seratus meter dari sekolah menuju gang, lalu menunggu sampai angkot lewat di depan gang. Jujur, walaupun aku sering menaiki angkot, tapi aku lebih suka menaiki angkot yang sepi, kalau belum ada juga yang sepi, aku harus menunggunya. Dan Cece sering jengkel terhadapku karena hal itu.

Ia selalu mengoceh begini, "Kamu tuh ya, Gem. Selalu begini. Kenapa sih nggak mau naik angkot yang rame? Namanya juga angkutan umum ya buat umum lah, dan pastinya banyak orang. Kalau kamu maunya sepi, ya naik aja mobil pribadi."

Ada benarnya juga sih kata-katanya Cece. Tapi tetap saja, aku tidak bisa sepenuhnya setuju dengan omongan Cece. Aku selalu memprioritaskan pantatku agar bisa duduk dengan nyaman dan tenang ketika pulang. Bagaimana tidak? Buku-buku di dalam tasku yang cukup banyak, membuat pantatku harus rela berbagi dengan tas. Kalau sepi, aku kan bisa duduk sedikit miring atau serong, jadi, aku bisa duduk dengan nyaman dan tenang, benar kan?

"Tumben kamu nggak ngoceh?" tanyaku pada Cece. Kulihat, dia Cuma asik men-scroll layar handphonenya tanpa menoleh ke arahku. Aku menyenggol tangan kanannya, "Lagi cari apasih, Ce?"

"Lagi cari di sosmed, ada apa enggak angkot sepi di olshop, biar aku pesenin buat kamu."

Sudahku pastikan saat itu juga, pasti wajahku berubah menjadi wajah yang sangat masam. Omongan Cece kali ini patut aku ancungi jempol, jempol kaki. Mau tak tendang perutnya pakai kakiku. "Kamu tuh ya, minta ku tendang perutmu." Omelku.

Cece tertawa sampai akhirnya tawanya mereda bersamaan dengan datangnya angkot yang ditunggu-tunggu mereka. "Akhirnya yang ditungguin dateng, kalo masih nunggu lagi, aku jamin bakalan kutinggal kamu disini, Gem."

"Berisik ah, ayo buruan naik, nanti malah kamu yang kutinggal."

Cece segera mengakhiri gelak tawanya dan menaiki angkot tersebut. Di dalamnya jelas hanya ada aku dan Cece yang menumpangi angkot itu. Walaupun si abang angkot itu masih ngetem di pinggir gang sekolahku, tapi aku jamin tidak ada lagi siswa maupun siswi yang keluar dari gang itu.

"Gem, gem."

Merasa Cece terlalu keras mengguncang bahuku, aku menoleh ke arahnya lalu berkata, "Apasih, Ce?"

"Hem, aku mau ngasih tau kamu sesuatu, tapi, kamu nggak apa-apa kan nantinya?"

Tumben-tumbenan banget sih Cece mau ngasih sesuatu aja pake izin dulu sama aku. "Enggak kok, ada apaan emangnya?"

"Kamu pindah duduk sini deh, Gem."

Berhubung aku penasaran, aku yang tadinya duduk di dekat pintu pun segera pindah ke sebelah Cece yang duduk di sebrangku. Masih belum mengerti apa maksud Cece, aku bertanya lagi, "Kenapa sih, Ce?"

"Fokus arah jam duabelas."

Sontak, aku mengikuti apa yang disuruh Cece. Di gang sekolahku, berdiri seorang cowok dengan cewek yang sedang jalan bersamaan. Menurutku biasa saja, tapi kenapa Cece harus minta izin sewaktu ingin menunjukkan ini kepadaku?

"Apa yang salah sama mereka?"

"Kamu nggak bisa liat baik-baik itu siapa?" ia balik bertanya.

Aku mengucek-ucek mataku kembali dan melihat dua sejoli yang masih berjalan di gang itu. Dan, gotcha! Aku mendapatkan dia yang tengah berjalan bersama seorang perempuan yang kuketahui itu adalah kakak kelasku yang memang cukup dekat dengan dia.

"Kamu kesel kan? Ih, tadi mah ngapain aku kasih tau kalau mukamu berubah jadi asem gitu." Bukannya menjawab pertanyaan dari Cece, aku memindahkan diriku ke tempat dudukku seperti semula.

"Aku nggak kesel kok, emosi aja."

Tiba-tiba dua orang yang tidak kusangka-sangka itu masuk ke dalam angkot yang tadinya hanya berisikan aku dan Cece. Dan kenapa saat mereka duduk, harus di depanku? Apa tidak bisa duduk disampingku saja supaya tak terlihat? Dan, kenapa dia mesti senyum saat menatapku? Huh, senyumnya bahkan menghilangkan amarahku untuk beberapa saat sebelum ia menjepitkan jepitan di rambut perempuan itu.

Baru saja tadi pagi aku bisa berdampingan dengannya, kenapa sekarang dia malah berdampingan dengan perempuan itu? Pake segala masangin jepitan! Aku nggak suka ngeliatnya!

Sebentar,    

Memang aku siapanya dia sampai harus kesal begini.

Untuk kesekian kalinya, aku benci kenyataan kalau aku bukanlah siapa-siapanya.

SuaraWhere stories live. Discover now