T R I A L
"AL, berangkat sekolah, yuk." Revon mengetuk pintu kamar Aletta beberapa kali. Tidak ada suara sahutan atau grasak-grusuk dari dalam kamar. Revon pun menunggu beberapa saat sebelum akhirnya cowok itu tidak sabar.
"Aletta!" seru Revon sambil menabok pintu kamar Aletta.
Lagi-lagi, tidak terdengar suara sahutan. Revon melirik jam tangan swiss army miliknya. 30 menit lagi pagar sekolah akan ditutup, sedangkan ia masih berada di rumah. Revon berdecak sebal. Ia pun membuka pintu kamar Aletta dengan kesal.
"LO--"
Lho, gak dikunci? batin Revon.
Alangkah terkejutnya Revon mendapati kamar Aletta yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, alias tidak ada Aletta. Hanya ada ranjang yang belum dirapikan. Meja rias yang kosong, serta meja belajar yang rapinya bukan main.
Soal meja belajar, itu serius dan bukan sarkasme. Satu-satunya yang rapi dari kamar Aletta adalah meja belajarnya.
Revon berdecak, salah fokus. Ia segera men-dial nomor Aletta yang ia simpan.
"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, harap tinggalkan pesan--"
Pip.
Revon menyumpah dalam hati. Sampai tiba-tiba ia berpikir bahwa Aletta sudah berangkat duluan karena masih ngambek pada Revon.
Revon mengedikkan bahu cuek, lalu keluar dari kamar Aletta, menutup pintu kamarnya, kemudian bergegas ke bawah dan menggas motornya.
Berangkat ke sekolah.
=
"Lo berantem sama dia?" tanya Grace dengan wajah sanksi.
Revon pun mengangguk sambil memasukkan sebuah baso yang tanpa dipotong-potong masuk ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah ia bicara, "gue kemaren ngomong kayak gitu. Yah, kayak yang barusan gue ceritain. Terus dia ngambek sampai sekarang."
Grace terdiam, cewek itu berpikir sebentar. "Lo juga salah sih, Von. Lo nggak boleh menganggap dia bukan cewek, meski gue tahu dia kelakuannya agak kayak cowok. Tapi dia tetap cewek, ucapan lo selama ini pasti ada yang menyinggung dia. Mungkin pada awalnya dia biasa-biasa aja, tapi lama-lama pasti dia kesel juga lah, Von."
Revon menunduk. "Susah ya temenan sama cewek. Ngebingungin."
Grace mendengus. "Sori, gue cewek, nih."
"Lah, lo kan setengah cowok, Grace?" ledek Revon.
"Daripada lo--setengah cewek, curhat gitu ke gue. Hahahaha." Grace tertawa garing.
"Tai," umpat Revon pelan. "Gue nggak setengah cewek, anjir."
Grace tersenyum. "Nah, lo kesel kan kalo dibilang setengah gender, gitu? Itu yang dirasain Aletta. Pokoknya, lo harus minta maaf."
Revon menatap Grace dengan tatapan, lo-serius?-gue-anti-kata-maaf.
Grace berdecak, gemas melihat tingkah Revon yang kekanak-kanakan. Untung teman, coba kalau bukan? Sudah Grace tabok karena gemas sekaligus kesal.
Omong-omong, Grace mengerti bagaimana Revon paling anti meminta maaf. Tapi kali ini serius, cowok itu harus minta maaf. Grace tidak begitu mengerti kenapa Aletta sampai marah besar meski Aletta selama ini tidak pernah memersalahkan tentang ketomboyannya yang selalu menjadi bahan ledekan dari Grace. Setahu Nadia, Aletta bukan cewek baper-an yang sensitifitasnya melebihi cewek PMS. Pasti ada alasan lain.
Atau jangan-jangan cewek itu memang lagi PMS?
"Gak ada cara lain selain minta maaf, apa?" ucap Revon seakan-akan sedang meminta keringanan hukuman pada Bu Retno, guru piket terlegendaris yang sering menyeretnya ke ruang BK bersama Grace saat kelas 10.
Grace menolak dengan tegas.
Revon memasukkan suapan terakhir basonya sebelum akhirnya cowok itu menghela nafas.
Minta maaf?
Persetan.
=
Beberapa menit sebelum Revon memarkirkan motornya di dalam garasi, Aletta baru saja menutup pintu rumah. Mereka berdua sama-sama baru sampai.
Revon baru tahu, saking kesalnya Aletta, bahkan cewek yang notabene merupakan adik kelasnya di SMA itu sampai pulang-pergi sendiri.
Revon memutuskan untuk mandi sebelum menghampiri Aletta di kamarnya.
Di sinilah Revon sekarang, di depan pintu kamar Aletta. Buku-buku jarinya mengetuk pintu kamar Aletta pelan.
"Aletta."
Tidak terdengar sahutan. Jangan-jangan cewek itu tidak ada di kamarnya seperti tadi pagi?
Revon pun membuka pintu kamar Aletta--tepat ketika kaos oblong Aletta lolos menutupi tubuhnya. Tapi tetap saja, Revon sempat melihat betapa rampingnya pinggang Aletta. Bahkan perutnya yang rata.
Astaga, apa yang Revon pikirin, sih?
"LO NGAPAIN SIH, JING? NGGAK PUAS BIKIN GUE KESEL? MESUM! NGGAK TAHU SOPAN SANTUN!" omel Aletta mendorong Revon menjauh dari ambang pintu.
Revon terbanting ke belakang. Ia menyeimbangkan tubuhnya saat tubuhnya nyaris ambruk karena kekuatan dorongan Aletta yang tidak bisa diremehkan.
Aletta melayangkan pandangan setajam pedang yang seketika menghunus Revon sebelum Aletta menutup pintunya kasar dan menyebabkan suara debaman keras hingga rasanya lantai jadi agak bergetar.
Revon berdecak. Belum minta maaf aja cewek itu sudah kayak gitu. Bagaimana nanti?
Mungkin Revon bakal dicincang jadi kornet.
Revon menghela nafas. Ia bakal menyoba cara lain, di hari yang lain tentu saja.[]
an: istighfar Von, astaga ...
Menurut lo sejauh ini Revon sama Aletta gimana? Comment, ya! Hehehe
YOU ARE READING
Something About Feeling
Short StoryBagi Aletta, sial itu ketika tinggal bareng Revon yang nyebelin level max itu. Bagi Revon, tinggal sama Aletta yang bawel itu salah satu daripada hal terburuk dalam hidupnya. Perbedaan pendapat juga selalu memicu perdebatan di antara mereka. Penasar...