1

268 12 0
                                    



"Jelaskan padaku." Suara perempuan itu bergetar hebat.

"Apa?"

"Kau memberitahu semua orang kecuali aku."

Lelaki itu hanya bisa diam. Menatap mangkuk supnya yang kini mulai dingin. Pikirannya berkecamuk. Dia hanya takut perempuan di depannya menangis. Ia sangat benci melihat seorang perempuan menangis, apalagi perempuan tersebut adalah orang yang selama ini menjadi partner kerjanya selama kurang lebih tujuh tahun. Dia hendak membuka mulutnya untuk berbicara sebelum akhirnya perempuan itu kembali berbicara.

"Oppa-"

"Maafkan aku, Jihyo-ya. Aku hengkang dari show."

Bahu perempuan tersebut sedikit goyah. Nafasnya menjadi tidak beraturan. Rambutnya yang ikal, hitam, dan panjang—seperti apa yang lelaki itu sukai—jatuh diantara bahunya. Warna kulitnya sangat pucat karena cuaca yang kini sangat dingin walaupun tak bersalju. Dia tidak menggunakan lipstik, sama seperti biasanya. Lelaki itu menatap matanya dalam, menyadarinya sejak lama bahwa dia sangat terpikat dengan simply beauty-nya. Yang lelaki itu inginkan sekarang hanyalah merengkuh tubuh kecil perempuan itu kedalam pelukannya. Merasa sangat bersalah karena apa yang telah ia putuskan membuatnya sekecewa ini.

Perempuan itu menghirup udara disekitarnya kuat-kuat. Kini pipinya memerah, menandakan bahwa ia seolah telah menahan tangisnya. Bola matanya menatap keadaan di sekelilingnya sebelum akhirnya bertemu dengan milik lelaki itu. "Aku tahu ini pasti akan terjadi."

Lelaki itu, yang sedari tadi memperhatikan si perempuan kini mengalihkan pandangannya. Ia sungguh benci keadaan seperti ini. Kini si lelaki hanya bisa menatap kearah mangkuk jjampong di atas meja perempuan di hadapannya itu. Ia sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan posisi sumpit dan sendoknya pun tetap sama seperti sebelumnya.

"Aku tahu, tujuh tahun tidaklah mudah. Tapi kuharap ini pilihan yang paling tepat untukku."

Perempuan itu sama sekali tak ingin menatap wajah lelaki yang kini duduk tak tenang di hadapannya. "Ya. Kurasa jika aku bilang 'tidak' pun kau akan tetap melakukannya."

Lelaki itu terdiam, tak tahu apa yang harus ia katakan selanjutnya. Sebelum ia melihat perempuan itu menangis, lebih baik ia segera kembali ke studio. "Dan kurasa kau juga harus segera pulang. Asistenmu terlihat sudah lama menunggu di luar, dan kau tak boleh kedinginan disini. Kita bisa membicarakannya nanti." Dia beranjak dari tempat duduknya. "Jangan khawatir, aku yang akan bayar makanannya." Lalu lelaki itu pergi meninggalkannya.

Jihyo—perempuan itu—terlihat sungguh kecewa atas apa yang lelaki itu lakukan barusan. Belum selesai mereka bicara, ia malahan pergi. Mulutnya tak sanggup bahkan untuk memanggil namanya. Ia memperhatikan punggung lelaki itu sampai menghilang dari pandangannya. Sadar akan dia baru saja menangis, ia menggunakan ujung lengan mantelnya untuk menghapus air matanya. Dia merasa marah, sedih, dan benci sekaligus. Perempuan itu merasa gagal akan apa yang telah ia jaga setelah kurang lebih tujuh tahun. Dia harus membiarkan lelaki itu pergi.

Lonely NightWhere stories live. Discover now