2

181 12 0
                                    



Setelah sekitar dua bulan Gary meninggalkan show, dia sangat sibuk dengan kegiatannya di studio. Shooting terakhirnya di Running Man berjalan dengan lancar. Bahkan satu episode setelah episode terakhirnya ia muncul sebagai guest star. Dan hari itu—hari dimana dia dan Jihyo bertemu di sebuah cafe kecil di pinggiran Seoul—adalah hari terakhir ia bicara dengan perempuan itu. Sisanya, dengan keadaan on-camera, terlalu dibuat-buat, terlalu scripted. Mereka melakukan hal seperti itu hanya karena ingin rating show-nya tetap baik. Gary akan sangat merasa sedikit canggung untuk mengajak Jihyo bicara, melihat perempuan itu bahkan tidak mau melihat kearahnya saat semua member sedang diskusi. Jihyo juga terlihat sangat terburu-buru untuk pulang. Entah memang dia memiliki sesuatu yang mendesak atau mungkin dia terlalu malas berada di lokasi shooting bersama Gary.

Sampai sekarang, mereka bahkan belum saling memberi kabar.

"Kang Gary, pulanglah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktumu disini." Seru Gill—yang merupakan partner duonya.

"Ya, hyung."

Dan selanjutnya Gill akan bersungut-sungut.


***


"Eonni, kau harus tidur tepat waktu malam ini." Hongda, hairstylist Jihyo yang selalu bersamanya terlihat sudah kelelahan. Waktu menunjukan pukul 21.13KST dan Jihyo masih belum ingin meninggalkan gedung tempat shooting beauty show-nya. Padahal ia sudah menyelesaikannya sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu. Tak biasanya ia sampai tidak mau pulang seperti ini.

"Kurasa kau bisa pulang ke rumah sekarang. Aku akan segera pulang setelah sekitar 30 menit. Pulanglah, ibumu menunggumu di rumah."

"Ya! Eonni! Kuyakin ibumu juga merindukanmu sekarang!" Hongda protes atas kalimat penjelasan Jihyo sebelumnya. "Lagipula cuaca di luar sedikit dingin, aku tak yakin aku bisa meninggalkanmu disini."

"Kumohon, aku baik-baik saja."

Gadis yang lebih muda dari Jihyo tersebut menggerutu pelan sembari meraih tasnya di sofa di sebelah Jihyo duduk. Jihyo terlihat dalam keadaan buruk, padahal ia terlihat sangat ceria saat kamera menyala. Ia bersandar ke sofa yang didudukinya. Matanya terpejam dan rambutnya terlihat sedikit tidak beraturan. Tubuhnya merosot seakan-akan dia berharap dia ditelan sofa tersebut. Disitulah Hongda melihat Jihyo sedang tidak baik-baik saja, tapi ia sangat mengenal perempuan 36 tahun dihadapannya. Jihyo akan sangat marah jika ia terus dipaksa, jadi Hongda memutuskan untuk mengikuti perintahnya dan segera pulang.

"Eonni, aku pulang. Kau janji kau akan segera pulang 30 menit dari sekarang. Gunakan mantelmu dan mintalah seseorang untuk menjemputmu, atau hubungi asistenmu."

"Hmm."

21.58KST

Malam ini terasa sangat panjang. Jihyo tak ingin segera sampai ke rumahnya. Ia meminta asistennya untuk hanya mengantarnya sampai ke halte bus terdekat. Ia bilang ia hanya ingin jalan-jalan sebentar dan ia akan menggunakan bus 22.15KST untuk sampai ke rumahnya, walaupun sebenarnya sang asisten benar-benar khawatir padanya.

Trotoar-trotoar di kota Seoul belum terlihat menyepi. Masih ada beberapa orang tua dan pebisnis yang mungkin hendak menunggu bus dan segera pulang. Jihyo menghindari jalanan ramai takut-takut fans-nya menyadari ia disini. Paljamakchang, yang merupakan cafe milik Gary merupakan tempat yang pertama muncul dipikirannya. Tak butuh waktu lama untuk sampai sana, hanya butuh waktu 10 menit berjalan dari sini, walaupun ia yakin ia akan meninggalkan bus 22.15KST-nya.

Bukan. Ia datang kemari bukan untuk makan atau berharap bertemu Gary—yang lagipula, di waktu seperti ini biasanya ia sudah berada di studio—tapi ia datang kemari untuk hanya sekedar duduk di bagian rooftop-nya. Tempat dimana Gary dan Jihyo hampir sering menghabiskan waktunya setiap kali Jihyo butuh teman untuk bercerita ataupun sebaliknya. Seperti biasa, ia meminta izin lebih dulu untuk pergi kesana.

Kali ini, Jihyo memakai tempat ini sebagai alat bantu pribadinya karena kini ia merasa sesuatu menghimpitnya hingga sesak. Pemandangan di hadapannya menjadi obat untuk akal sehatnya. Ia hafal setiap detil tempat yang ia lihat dihadapannya ini diluar kepala. Malam ini ia bisa memandang sejauh 157 kilometer, dan langit gelap tanpa bintang yang seolah melayang tanpa akhir diatas puncak-puncak gedung tinggi yang gemerlap akan cahayanya.

Ia ingat kunjungan pertama kalinya ke sini bersama Gary. Di salah satu acara "bolos" Gary menghindari latihan wushunya. Mereka akan cepat-cepat menaiki tangga dan Gary selalu menggenggam tangan Jihyo karena dia bilang Jihyo sangat ceroboh, jadi ia takut Jihyo terpeleset di tangga dan ia tak akan melihatnya berada di lokasi shooting minggu itu. Setelah sampai di atap, Gary akan menutup kedua mata Jihyo dengan kedua tangannya dan bilang "Kuharap kau menebakku dengan benar kali ini!". Sungguh, itu sangat bodoh.

Jihyo mengulangi kebiasaan itu sekarang. Bedanya, ia memejamkan matanya tanpa harus ditutup oleh dua telapak tangan. Saat ia membuka mata lagi, ia merasa seolah ia melayang di udara di atas kota yang indah. Ia menghirup udara di sekitarnya dalam-dalam dan menunggu agar sesuatu yang membuatnya sesak mengambang pergi. Sensasi nyaman yang memenuhi paru-paru nya mampir sesaat, tapi tak lama kemudian pikiran tentang Gary kembali menyeruak masuk ke dalam otaknya. Harusnya ia tidak boleh membuat dirinya lupa bahwa lelaki itu mempunyai tujuannya sendiri. Rasa sesak itu kembali muncul pada Jihyo mengingat bahwa semua member show punya janji. Mereka bilang mereka akan selalu bersama sampai show benar-benar dihentikan oleh pihak manager. Tapi ternyata peran terbesar yang mendukungnya di show malahan merusaknya. Faktor utama yang membuat Jihyo sangat kecewa pada Gary adalah kenyataan saat Jaesuk—salah satu member yang paling dekat dengan Jihyo—mengatakan bahwa sebenarnya Gary telah membicarakan soal dirinya yang hendak meninggalkan show sekitar satu tahun sebelumnya seolah menghantamnya keras. Semua member merahasiakan fakta tersebut dari Jihyo, termasuk Gary sendiri.

Jihyo tidak punya pilihan lain kecuali mengatasi hal itu sebaik mungkin. Mengatasinya secara langsung.

Ia menenangkan diri sejenak dan berdiri selama beberapa menit untuk berusaha meninggalkan sesaknya disini. Setelah memandang cakrawala yang menakjubkan untuk terakhir kalinya, ia segera berbalik dan melangkah menuju tangga, tahu bahwa usahanya itu sia-sia. Rasa sesak itu masih menggebu-gebu di dalam dirinya. Obatnya kali ini tidak mempan. Ia tidak tahu cara apa lagi yang bisa membuatnya berhasil membuang rasa sesak itu jauh-jauh. Ia merindukannya. Kang Gary.

Lonely NightWhere stories live. Discover now