3

169 12 0
                                    



Leher dan bahu Gary pegal, ia lalu berdiri dan meregangkan badan. Namun bukan sakit fisik yang paling mengganggu Gary karena seharian ia berada di studionya untuk menyusun lirik single yang akan dirilisnya dalam waktu dekat. Berulang kali ia mengeluh karena sulit memilih kata-kata yang tepat untuk pekerjaannya. Gary melirik jam tangannya, keheranan melihat waktu. Tiga jam berlalu tanpa terasa setelah teman-temannya memintanya untuk segera pulang. Ini sudah lebih dari tengah malam dan tak mungkin bagi Gary untuk pulang ke rumah.

Yang ada hanya resah. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia bisa hanyut dalam keasyikan menulis dan menyusun lirik sebuah lagu. Ia sering kali tidak fokus terhadap pekerjaannya belakangan ini. Hyung-nya juga kini khawatir dengannya mengingat Gary hanya akan menjawab bahwa dia baik-baik saja saat ditanya, atau bahkan bilang 'Hyung, kenapa kau sangat mengkhawatirkanku?' dengan nada normal yang terkesan menyembunyikan sesuatu yang besar. Gary selalu seperti itu, apalagi ia pernah didapati minum-minum di sebuah bar saat mengetahui Jihyo memiliki kekasih tahun lalu. Ia mudah patah hati.

Disulutnya sebatang rokok dan ia menyesapnya kuat-kuat, membuang sebagian racun yang telah ia sesap lewat gumpalan-gumpalan asap yang keluar di mulutnya. Malam ini ia telah menghabiskan tiga gelas kopi—walaupun ia mengabaikan setengah isi dari gelas terakhir—kesukaannya. Americano. Kopi yang sama-sama ia dan Jihyo sukai. Biasanya jika Gary pergi ke kedai kopi bersamanya, Jihyo membantah untuk membeli satu cup kopi untuknya sendiri. Dia akan minta ukuran cup yang lebih besar dan juga dua sedotan. Setelah itu Gary dan Jihyo akan pergi mengelilingi tempat yang mereka kunjungi sambil menyesap kopi mereka bersebelahan. Mereka juga sering melakukan hal itu di depan kamera saat show.

Terlihat fotonya bersama member show yang sengaja dipajang tepat disebelah komputer yang menyala di hadapannya. Disampingnya, ia mencoret-coret beberapa kertas yang juga digunakan sebagai salah satu alat bantu untuk melakukan pekerjaannya. Malam semakin larut dan ia masih saja kesulitan menyelesaikannya. Sesekali ia pergi ke balkon untuk menyesap kopinya dan membuka satu per satu pesan-pesan masuk tanpa membalasnya karena isinya yang sama-sama membosankan. Ingin sekali rasanya mengirim Jihyo sebuah pesan. Tapi ia takut bahwa pesan singkatnya hanya akan mengganggunya, apalagi ini bukan waktu yang tepat. Pernah sekali ia menghubungi Jihyo dan ia mendapati bahwa ia dialihkan ke pesan suara. Mungkin ini bukan waktunya untuk menghubungi Jihyo mengingat dua bulan belum cukup lama untuk meredam rasa kecewanya terhadap Gary. Tapi semakin Jihyo memutus kontak dengan Gary, Gary akan merasa semakin bersalah.

Berkas-berkas dalam komputernya, kertas-kertas yang berhamburan, lagu-lagu yang diputar pelan dan lampu-lampu yang tidak begitu terang lama-lama terlihat memuakkan. Gary benar-benar dalam keadaan yang tidak baik untuk melakukan pekerjaannya. Tapi ia masih saja diam di tempatnya. Jemarinya kembali membuat coretan-coretan kalimat diatas kertas-kertasnya. Gary adalah seorang lyricist, tapi baru kali ini ia mengalami kesulitan seperti ini. Biasanya ia akan dengan mudah menumpahkan gambaran-gambaran yang ada di pikirannya ke dalam kalimat. Tapi kali ini sangat berbeda. Rasa bersalahnya terhadap Jihyo kembali muncul, mebuatnya menyeret ponsel di hadapannya dan hendak mendial Jihyo. Tapi itu terlalu tidak mungkin. Lalu ia memutuskan untuk mengirimnya pesan, tapi ia tak tahu apa yang harus dibicarakan.

'Jihyo-ya, bagaimana beauty show barumu?'

'Kapan terakhir kali kau mengunjungi cafeku? Kuharap kita bertemu disana.'

'Jihyo-ya, aku rindu semua member show.'

'Aku masih di studio. Kemarilah, aku akan berada di depan rumahmu dalam 15 menit.'

Tidak. Itu terdengar buruk dan menyebalkan. Jihyo pasti tidak akan membalas pesan-pesannya, tak peduli berapapun jumlahnya. Ia pasti hanya akan membacanya saja. Gary melempar ponselnya ke sofa yang tepat berada di sebelahnya dan kembali duduk di meja kerjanya. Ia menyeret kursi yang ia duduki dan merapatkan dirinya ke meja. Kedua tangannya menjadi satu kepalan dengan siku sebagai tumpuannya diatas meja, ia menopang dagunya sembari memejamkan mata dan mengikuti irama musik pelan yang masuk ke dalam telinganya. Berusaha agar merasa sedikit lebih tenang. Tak lama, Gary kembali meraih pulpen di hadapannya. Kertas-kertas itu kini ia susun rapi dengan kertas kosong diatasnya. Jemarinya kini kembali menggerakan pulpen itu diatas kertas kosong.

"...I'm working all night again
I turn the lights on in my eyes, like the neon sign in a store
My current mood is like a rain storm in early summer...

...Nothing happened I just wanted to see your face
We can get a cup of coffee or a drink
I don't care so come out for a bit..."

Lonely NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang