4. War of Hormone Pt. 2

6.9K 971 95
                                    

Suga tidak mengajakku ikut serta. Tapi dari ekspresinya barusan, entah mengapa aku mengerti bahwa terserah padaku ingin tetap mengekorinya apa tidak. Lagipula, sepertinya sudah dari awal dia telah memperkirakan  kalau aku memang akan masih berada di dekatnya sampai urusannya di klub malam ini selesai.

Karena itu Suga membelikanku satu stel pakaian kan. Membuatku menyimpulkan bahwa ia adalah seseorang yang cukup perfeksionis, penuh persiapan dan beretika -sebenarnya bisa saja ia memberi uang tip lebih kepada penjaga pintu ataupun bodyguard klub kan, tapi aku yakin Suga mengubah penampilanku lebih kepada alasan tata susila-.

Benar-benar beretika. Duduk bersebelahan di meja bar, Suga disuguhkan segelas vodka sedangkan aku diberikan segelas squashes campuran -aku langsung bertanya begitu pesanan kami sampai-. Padahal ketika ia memesan tadi, aku sempat berdebar-debar mengantisipasi bagaimana rasanya mencicipi minuman keras untuk pertama kali. Ternyata yang di hadapanku kini hanyalah minuman buah-buahan non alkohol.

Suga mengacuhkanku untuk beberapa lama, sibuk berbicara dengan bartender berwajah oval. Dan aku sama sekali tidak mengerti pembicaraan mereka, bukannya karena topik yang sepertinya memang bukan konsumsi anak sekolahan melainkan karena bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa jepang.

Pandanganku jadi berubah, barangkali Suga memang nama asli pria kurus ini. Jika benar, ugh, gayaku tadi yang seolah-olah yakin ia berbohong pastilah menggelikan. 

Selesai berbicara, bartender sempat tersenyum manis kepadaku sebelum ia kembali sibuk meracik minuman dan juga melayani tamu. Senyumannya terlihat hangat, wajahnya memang terlihat ramah dan murah senyum. Membuatku langsung balas tersenyum selebar mungkin. Di sisi lain Suga mengambil handphone dari saku jaketnya kemudian sibuk menelpon seseorang.

Astaga.

Apa dia pembunuh sekaligus penerjemah. Jika tadi Suga berbahasa Jepang, sekarang ia tengah menggunakan bahasa china. Terdengar fasih, benar-benar seperti di film aksi Hongkong yang biasa Ayahku tonton. Ou, aku jadi teringat pembunuh-pembunuh elite di berbagai fiksi kriminal, seseorang yang cerdas, tak banyak omong, berpembawaan tenang, terlihat keren dan tentunya berduit. Em, mengenai pembawaan yang kusebut itu, Suga itu tenang tapi tenang yang seolah-olah selalu penuh waspada, tidak mudah didekati dan dingin yang membahayakan. 

Benar-benar berbeda dari semua orang yang pernah aku kenal selama ini. Tak ada yang seperti itu. Tak akan pernah ada mungkin, mengingat kehidupanku hanyalah kehidupan seorang siswa biasa dengan latar belakang keluarga yang biasa pula. Memiliki teman-teman dengan kehidupan yang juga serupa, berada dalam ruang lingkup lingkungan dan rutinitas 'orang kebanyakan'. Mungkin karena itu, batinku bergejolak untuk nekat melangkah ke dunia yang amat tidak tersentuh olehku sebelumnya. 

Orang-orang bilang, diumur-umur segini rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru memang menggebu-gebu susah dikontrol. 

Suga menelpon cukup lama, dengan ekspresi serius serta berpikir keras memandang lurus ke depan layaknya yang ia telpon berada tepat di hadapannya. Ia hanya berkata sedikit saja, yang di seberang sana lebih banyak berucap. Dan aku mulai merasa bosan, sejak tadi aku sudah puas memperhatikan sekitar, jadi aku memutuskan untuk bermain game namun tiba-tiba sebelah tangan Suga -yang sebelumnya memegang rockglass- terangkat cepat mengenggam kedua tanganku yang memegang handphone. 

Langsung saja aku mengerut kepadanya, yang ternyata tetap fokus pada sambungan telpon dan bahkan untuk sekedar melirik menjawab keherananku saja tidak. Apa aku tidak boleh menggunakan handphone-ku sendiri? Apa aku tidak boleh melakukan apa-apa selain menunggunya selesai?

Dan Suga belum menghiraukanku. Bertambah lagi yang bisa aku simpulkan dari dirinya, tidak suka memberikan penjelasan atas apa yang dilakukannya -maksudnya, tidak lekas-lekas. Apapun itu kita perlu klarfikasi secepatnya kan-.

"Aku, aku tak akan berisik,"begitu kataku, berpikir ia mencegahku karena menganggap gerak gerikku akan mengganggu pembicaraan pentingnya. Suga tetap pada posisinya, menatap lurus ke depan dengan raut serius yang begitu dingin dan tangan yang semakin erat genggamannya. Tangan yang cukup besar untuk membungkus dua tangan dan handphoneku secara bersamaan.

Kupandangi tangannya ini.

Terasa digenggam oleh vampir, karena warna pucat dan suhunya yang dingin sehabis menempel pada rockglass berisi bongkahan es cukup lama.

"Pemakai Wifi di sini bisa dilacak dan juga dimasuki virus oleh pihak klub secara diam-diam."

Sontak aku beralih dari tangan Suga. Pria itu sudah memasukkan kembali handphonennya ke dalam saku jaket, menopang sebelah pipinya pada telapak tangan yang ditumpu di atas meja bar, melihat ke arahku.

"Ou... tapi tadi aku hanya ingin bermain game offline."

"Nah, aku hanya mengantisipasi. Hal pertama yang remaja cari adalah wifi gratis kan."

"Iya sih."

"Nah, Jimin. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

"Apa kau orang Jepang- ani, kenapa kau membolehkanku mengikutimu- ani, ani, ani, yang seharusnya pertama aku tanya-"

"Kenapa aku membiarkanmu hidup waktu itu?"

"Ou... ne..."

"Well, sorot matamu itu jelas-jelas sangat ketakutan dan terguncang. Lagipula, kau langsung pipis di celana. Jadi kupikir kau itu tipikal-"

"Tunggu! Kau bilang apa barusan?!"

"Kau langsung pipis di celana."

 "HEOL!! JADI WAKTU ITU AKU- pipis di celana?"

"Ne." 

Astaga. Aku sendiri tidak sadar. Terlalu fokus pada Suga, terlalu tenggelam dalam ketakutan. Begitu pulih dari pingsanpun, celanaku sudah mengering, dan bau pesing sama sekali tidak mengusikku yang terlanjur sibuk menguatkan diri. Aaah, Eommapun lebih memperhatikan luka leherku dibanding bauku. Aku juga langsung mandi dan bergegas tidur melewatkan makan malam. 

"Sekali lihat aku langsung tahu kau itu tipikal remaja yang bagaimana,"lanjut Suga, "kau adalah seseorang yang bahkan memberitahukan kepada keluargamu saja pasti tidak berani, apalagi kepada polisi. Yang tentu saja tidak mau lagi mengingat-ingat pembunuhan itu dan berurusan denganku lagi. Tapi, yah. Aku tak menyangka justru kini kau duduk di sampingku, di tempat yang tidak boleh didatangi oleh anak sekolahan sepertimu dan malah berbincang denganku."  

"Kau pandai membaca orang."

"Pekerjaanku menuntut agar dapat membaca situasi secepat mungkin."

"Ou..."

"Jadi, ada lagi?"

"Orang Jepang dan boleh mengikutimu."

"Aku campuran. Dan bukan sesuatu yang merepotkan jika kau mengekoriku."

"Ooo. Umurmu? Bukan 30 tahun kan?"

"25. 26 hitungan korea."

"Betul firasatku, kau bohong tadi! Namamu bagaimana?"

"Umur itu tidak penting. Dan Suga memang termasuk panggilanku, aku juga lebih nyaman dipanggil begitu."

"Kau tinggal di mana?"

"Aku tidak punya tempat tinggal. Nah,"Suga mengeluarkan ribuan won dari dompetnya dan melemparnya ke atas meja, "aku harus bergegas ke Nanjing sekarang. Selamat tinggal."

"Ini untuk apa?"

"Taksi. Tak ada halte bis di dekat sini. Kau pulang naik taksi saja biar aman."

Suga beranjak pergi, cepat-cepat aku meraih uang kertas itu dan menyusul Suga, "kuharap kita akan bertemu lagi." 

"Kuharap tidak, Jimin."

Dark&Wild

Nyatanya yang terjadi, kami beberapa kali bertemu lagi.

Jika orang-orang pada umumnya menganggap ini sebuah kebetulan, maka aku lebih senang menyebutnya sebagai takdir. 

-TBC-

Dark & Wild : Book 1 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang