Kalau diceritain gimana gue ketemu sama Audy, lo semua pasti protes sama judul dari bagian ini. Our meeting was definitely not something you'd call 'cute'. Gue dan Audy ketemu di salahsatu house-party mutual friends kita, anak Jakarta juga, waktu kita masih sama-sama S2 di NUS aka National University of Singapore. Gue ambil master di bidang business administration, dan dia engineering.
Kesan pertama gue? Gak ada. Ya orang ketemu di party bareng puluhan orang lainnya desek-desekan di satu apartemen mana sadar gue kalau jodoh gue ternyata salahsatu dari puluhan orang yang pulang dalam keadaan wasted malam itu. Ya, Audy termasuk salahsatu dari puluhan orang wasted itu.
Even worse, dia jackpot di sepatu gue.
Di sepatu BARU gue.
Udah gila ini cewek.
Waktu itu rasanya gue mau marah se-marah marahnya orang marah, tapi waktu dia ngangkat mukanya untuk menatap gue dengan wajah beler dan senyum inosen, gue gak jadi marah. Tolong jangan tanya kenapa, pokoknya waktu itu gue gak jadi aja mau marah dan malah maunya mengantar dia balik ke manapun itu tempat tinggal dia disini.
"You're wasted" ujar gue sembari menggelengkan kepala.
"Don't need to tell me twice" ia terkekeh, lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil botol whiskey yang kebetulan ada di kitchen counter di belakang tempat gue berdiri. Buru-buru gue tahan tangannya.
"Gue antar pulang ya daripada lo bikin rusuh muntah-muntah di sepatu orang lain"
Dia mengangkat alisnya kemudian menggeleng. "Heeeeeey kamu orang Indonesia juga? Aku kira kamu locals. Hehe- hik. Hehehe- hik"
Iya dia cengengesan sambil cegukan.
Gue memutar kedua bola mata gue dan meletakkan gelas bir yang gue pegang, gue tuntun dia keluar menuju pintu apartemen.
"Lho, lho kita mau kemana... Perasaan baru mu- hik! Mulai" ujarnya teler.
Di saat-saat seperti ini gue bersyukur Tuhan membangun tubuh gue dengan special ability tahan gempuran alkohol. You can chug me a bottle down my throat and I can still drive back home safely. Percaya aja, gue pernah kok kayak gitu.
"Gue anterin lo balik ya. Bawa tas atau jaket?"
Dia menggeleng. "My place is just down this floor... Hik!" ujarnya sambil menunjuk-nunjuk kebawah.
Tepat setelah mengatakan itu, dia beneran down ke floor.
Gue menghela nafas panjang. This is going to be a long long night.
Singkat kata, gue berhasil bawa dia balik ke apartemennya dengan selamat karena beneran cuma satu lantai dibawah apartemen si empunya pesta. Untungnya, dia punya roommate yang masih bangun dan sober malam itu. Gue serahkan semua tanggung jawab gue terhadap dia ke sang roommate lalu gue pun buru-buru ngacir balik ke flat gue sendiri.
Sepanjang jalan gue gak bisa berenti mikirin dua hal: Dia siapa, dan gimana caranya gue bersihin ini sepatu sampai balik seperti bentuk awalnya.
***
Kita ketemu lagi, kali ini secara resmi, setahun setelah gue berhasil lulus—kali ini gak pake telat kayak pas S1 kemarin—dan dapat gelar M.B.A dibelakang gelar S.Ip gue. Pertemuan kali ini juga masih gak ada cute-nya, karena kali ini kita ketemu dalam sebuah rapat menegangkan antara kantor dia dan kantor gue. Bahasan rapatnya sih gak menegangkan, cuma orang-orang yang dateng rapat ini lumayan bikin tegang. Head gue, Head-nya Head gue, dan representatif dari kantor dia yang gue yakin paling nggak jabatannya manager atau head menambah suasana tegang rapat ini.
Di rapat itu dia mengenalkan diri sebagai Audya, engineering consultant dari perusahaan telekomunikasi yang jadi 'tamu' di rapat kali ini. Kalau lo tanya saat itu rapatnya ngomongin apa aja, gue gak yakin gue bisa jawab karena 90% waktu gue di rapat itu gue habiskan dengan mandangin wajah dia pas presentasi.
And damn those legs...
"Jevin, menurut kamu gimana prospeknya ke perusahaan ini?"
Gue baru gelagapan saat tiba-tiba Head gue berbisik pelan di kuping gue pas Audya lagi nerangin slide yang isinya grafik-grafik apaan tau gue gak merhatiin.
"Bagus sih, Pak. Cerah"
Apaan yang cerah, langit diluar noh cerah, Jev.
Yeah, gue lagi gak punya stok balasan cerdas buat pertanyaan dia kali ini karena semua fokus gue tertuju pada Audya dan bagaimana sosoknya saat itu samasekali gak me-representasikan cewek mabuk yang jackpot di sepatu baru gue beberapa tahun silam. Gue sampe mempertanyakan diri gue sendiri ini dia bener gak sih cewek yang waktu itu?
Dan gue dapat jawabannya pas makan siang.
"Eh sori, lo... dulunya anak NUS bukan?" gue memberanikan diri menghampiri dia duluan ketika para bos-bos kita lagi cigarette break setelah makan.
"Iya, tapi gue S2 doang disana. Kok lo tau?" dia tersenyum, bingung tapi tampak senang.
Gue balas tersenyum. "Janine's house-party. Lo muntah di sepatu gue" gue lalu mengulurkan tangan gue kehadapannya. "Jevin. Jevin Adhikara"
Dia mengangkat alisnya sejenak kemudian tertawa. Keras banget. Untung cantik nih cewek jadi gue gak malu-malu amat diliatin orang se-restoran.
"Oh god, that... that was embarrassing I'm so sorry" ia tersenyum lebar sembari menjabat tangan gue ringan. Bersahabat. "Audya. Tapi panggil aja Audy, Audya itu panggilan khusus di kantor sama kalo lagi rapat aja"
The minute we shake hands, I have already decided. I like this girl.
"Nice to finally meet you, again, Audy"
"Nice to meet you too, again, Jevin"

KAMU SEDANG MEMBACA
After Six: Jevin
ChickLitThe minute we shake hands, I have already decided. I like this girl. "Nice to finally meet you, again, Audy" "Nice to meet you too, again, Jevin"