ToD 9

25.7K 3.7K 273
                                    

Pagi ini aku terbangun dengan nyeri yang menjalar di sekitar mataku akibat menangis semalam. Walau tak semalam penuh aku menangis tapi, tetap saja efeknya membuat mataku lumayan sembab dan sakit kepala.

Aku tak tahu sejak kapan aku mulai memikirikan Zhio. Lebih tepatnya menyukai Zhio, ah, mencintai Zhio. Karena kalau hanya sekedar menyukai saja, aku tak mungkin seperti ini sekarang.

Berpisah dengan Alvaro, kami masih baik-baik saja. Benar-benar hanya murni sebagai teman. Tanpa modus-modus tak berguna. Walau diawal perpisahan, aku masih ingin menangis acap kali membaca percakapan kami dulu. Namun, lambat laun semua terasa biasa.

Jika dengan Alvaro, semenjak putus kami memang tak pernah bertemu kembali. Karena aku memang enggan bertemu. Dan, tak akan pernah mau bertemu secara sengaja. Hatiku, terlalu lemah. Begitu kupikir diawal. Namun, kemarin saat aku tak sengaja berjumpa Alvaro lagi. Di luar dugaan, aku tak merasakan apapun seperti yang kubayangkan.

Alvaro masih ramah seperti dahulu, kami makan dan tak ada modus meminta balikan. Karena, aku ataupun Alvaro menyadari bentang yang kita miliki tak akan bisa di pupus meski dengan segala cara.

Namun, beda kasus dengan Zhio. Zhio memang baik. Suka modus tak jelas. Penuh dengan perhatiaan. Dan, aku wanita dengan kebaperan tingkat internasional. Jelas, langsung luluh. Ya, lumer begitu saja.

Lihat anak kucing nyusu aja baper. Apalagi dimodusin. Di mulut mengatakan tidak, tetap saja di hati berbunga-bunga.

Awalnya, kupikir perasaanku untuk Zhio hanya sekedar rasa nyaman sesaat seorang wanita jomlo pada modus dan kebaikan hati Zhio. Namun, sekarang aku tahu ini bukan perasaan nyaman sesaat.

Tahu bahwa aku hanya sempat memiliki Zhio selama sepuluh hari membuat hatiku berdenyut. Kenapa selama itu aku tak memanfaatkan waktu semaksimal mungkin? Kenapa aku hanya diam saja ketika Zhio memberikan perhatiannya? Kenapa aku tak membentengi hatiku sejak awal kami melakukan permainan konyol itu? Kenapa dan kenapa yang selalu kuulang hingga berakhir dengan lelehan air mata penyesalan.

"Kak, udah jam enam. Nggak kerja kamu?" teriakan Mamaku dari luar sana mengembalikan pikiranku yang melayang entah ke mana.

Aku berdiri, memakai sendal tidurku. Berjalan ke arah pintu, "kerja, Ma. Nanti agak telat dikit deh. Kakak bawa motor aja, biar cepet," ucapku saat membuka pintu.

"Lah, itu temen kamu sudah di depan. Mama pikir kamu memang janjian mau berangkat bareng."

Temen? "Siapa, Ma?"

"Lihat aja," jawab Mamaku.

"Kakak mandi dulu, suruh nunggu sepuluh menit!" ucapku sedikit berteriak sembari berjalan cepat menuju kamar mandi.

"Anak perawan mandi apa cuma sepuluh menit?"

"Mandi bebek."

Mama berdecak heran namun tetap membiarkan aku mandi dan tak mengatakan apapun. Kasihanlah sama kupingku kalau sampai Mama memberikan kultumnya pagi ini.

Aku bergegas mandi, mebenahi diriku yang terlihat tak karuan ini. Hari ini, aku sengaja memakai kacamata karena malas memakai kontak lensa dan untuk menutupi mataku yang bengkak.

Tak sampai dua puluh menit aku keluar kamar, benar-benar nggak mencerminkan perempuan masa kini. Namun, pecinta alam sepertiku memang dituntut kerja cepat jika sedang di alam bebas. Gaya sekali ya aku ini. Padahal habis nangis semalaman.

Dadaku berdetak tak menentu, takut jika teman yang dimaksud Mama adalah Zhio. Aku tak mau semakin memupuk perasaanku tiap kali bertatap muka dengan dia. Pun, aku sungkan sama pacarnya. Aku tak mau jadi orang ketiga. Tak ingin menjadi PHO, apapun itu bentuknya.

Truth or DareWhere stories live. Discover now