ToD 20

28K 3.5K 318
                                    

"Gini amat ya, Yo. Mau ngobrol aja harus bayar, nggak bisa di rumah aja sambil nonton tipi atau drama korea," keluhku menjatuhkan kepala di pundak Zhio, namun sayang meleset kurang tinggi.

Zhio terkekeh sebelum menahan kepalaku tetap menempel di pundaknya, "Nanti kalau Papa kamu sudah lebih legowo sama hubungan kita, pacarannya malah bisa di kamar aja berduaan," goda Zhio.

Kupukul perutnya ringan, "Sembarangan. Bukannya langsung diseret ke depan naib yang ada kita diarak keliling komplek sambil Papa siap bawa bedil."

Zhio mengusap poniku yang mulai menutupi wajah, "makanya ini aku masih mikir gimana caranya supaya kita bisa langsung diseret aja ke KUA sama Papa kamu. Tapi Alvaro yang tahun-tahunan aja nggak bisa meluluhkan hati Papa kamu, gimana sama aku?"

Aku memeluk pinggang Zhio dari belakang, biarlah kami dikatakan pamer kemesraan, kalau perlu kupasang plakat bahwa kami sepasang kekasih dimabuk asmara kepentok restu orang tua, "kalau sama Alvaro dulu, kami punya jurang dalam tak kasat mata. Jadi, mau dicoba kaya apapun tetap judulnya bunuh diri, Yo. Sementara sama kamu, kita Cuma butuh meyakinkan Papa kalau nanti kamu nggak akan bikin aku sengsara di akhirnya," jelasku. "tapi, ngomong kaya gini, kita kaya yang iya aja Papa kasih restu langsung nikah."

Zhio ganti diam.

Aku menggoyangkan kakiku yang memang menggantung di kursi halte. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. "Yo..."

"Hmm..." gumamnya.

"Yoo..."

"Iya, hatiku. Ada apa?"

Aku bangkit bediri di depan Zhio, "potong rambut bisa kali yo, masa belah tengah gini. Ini jidat apa jendela sampai ada tirainya?"

Zhio tertawa ganti mengacak poniku yang juga memanjang, "ini karena kamu. Mikirin kamu terus sampai lupa ngurusin rambut."

Aku menjulurkan lidah meremehkan, "alaaah, pret. Paling karena kebanyakan main basket atau mabar kalau malem jadi suka kesiangan dan males ngantuk mau potong."

Zhio mengusap puncak kepalaku, "ini rambut kekinian loh, Riz," alibinya.

"Kekinian apaan rambut ada tirainya, potong ihhh..."

"Iya baik siap laksanakan. Sekarang saatnya pulang keburu malam sampai rumah. Nanti bukannya dapet restu malah di rumah ada plakat 'Zhio dilarang masuk' gitu."

Aku menggeleng, malas memikirkan akan berkata apa sama Papa saat tahu aku pulang bersama Zhio, "Nanti aja pulangnya, males kena marah lagi. Heran deh sama Papa, masih mending anaknya ada yang mau, kalau nanti malah jadi perawan tua gimana? Bukanya disyukuri malah dipelototin."

Zhio tertawa ringan, "awas nanti kesampaian jadi perawan tua loh."

Aku merengut, "ih amit-amit."

Zhio tertawa lebar, "kamu jangan keseringan bergaul sama Kila, otak dia itu cuma pajangan aja."

Aku mencubit perutnya, "yeee... diaduin atau ngomong sendiri," ancamku.

Zhio berdiri, menjulurkan tangannya yang besar, "ayo pulang, kita hadapi Papa kamu."

Kuterima uluran tangan Zhio, ganti menggenggamnya erat. Menyalurkan ribuan semangat pada Zhio. Jika lelaki ini saja sekuat ini maju menghadapi Papa, lalu untuk apa pesimis seorang diri?

---

"Yo, masa Adnan nanyain kamu mulu kapan bisa diajak main basket lagi sama dia. Masa aku jawab kalau itu imposible?"

Zhio menoleh sejenak. "Adnan nggak ada WA apapun sama aku. Malah Adnan ngomong kalau kamu nanya kapan ngajak aku main basket lagi di rumah," jawabnya.

Truth or DareWhere stories live. Discover now