ToD 21

7.3K 1.4K 132
                                    

"Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan."

Aku kembali mendesah, ponselku juga mungkin sudah jenuh karena mendengar suara Mbak Operator. Berada di planet mana Zhio hingga ponselnya selalu berada di luar jangkauan. Apakah Jakarta dan sekitarnya sudah terpecah menjadi beberapa planet?

Sejak kemarin Zhio tak ada kabar sama sekali. Selama dua hari ini pun dia mangkir dari agenda menjemputku. Mungkinkah ini karena perkataan Papa saat itu atau DM Lita malam itu? memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi alasan Zhio tak memberi kabar membuat kepalaku sudah hampir meledak.

Me : Kil, Zhio ada di kantor?

Karena dirasa sudah tak mampu merampungkan pekerjaan saat pikiranku melayang ke mana-mana, aku memutuskan untuk pulang saja. Saat melewati halte, kulambatkan laju mobilku guna meneliti adakah batang hidung lelaki jangkung itu tapi hasilnya nihil. Kesal. Itu yang aku rasakan dua hari ini. Kesal karena rindu yang tak kunjung tersampaikan.

"Pa, kemarin ngomong apa sama Zhio?" tanyaku meletakan teh di meja depan Papa. Setibanya di rumah tanpa basa-basi aku meminta berbicara dengan Papa empat mata ditambah dua mata Mama yang bersembunyi dibalik jendela kamar.

"Papa nggak ngomong apapun sama Zhio," jawab beliau, menyeruput tehnya.

"Nggak mungkin Papa nggak ngomong apapun sampai Zhio nggak datang ke rumah selama dua hari ini."

"Papa hanya menjelaskan sedikit mengenai tanggung jawab sebagai seorang lelaki, suami, dan ayah. Apa saja yang harus dipikul nantinya."

"Pa... itu masih terlalu jauh. Aku sama Zhio baru memulai hubungan, kami belum memikirkan sampai sejauh itu."

Papa meletakan tehnya, "Papa nggak tahu bagaimana pergaulan anak jaman sekarang kalau memulai hubungan sudah berani cipika sana sini. Yang jauh itu seperti apa, Kak? Kamu nangis sambil nunjukin testpack positif gitu?"

Aku tersinggung karena hal itu terus yang dibahas, "Pa, itu jiwa muda. Papa pernah muda, kan? Harusnya Papa juga mengerti bagaimana lelaki dan perempuan berhubungan."

Papa diam, mengembuskan napas berat, "Papa Cuma berniat menjaga buah hati yang Papa besarkan sejak kecil. Papa memang sudah tua, Kak, tapi Papa tetap orang tuamu. Kamu mungkin sudah mampu mandiri sekarang, sudah berpenghasilan tapi ingatlah siapa dulu yang selalu mengusahakan yang terbaik buat kamu. Papa Cuma nggak mau kamu terbawa arus," ujar beliau panjang lebar.

Aku terdiam, merasakan bagaimana kemarahan Papa dibalik nada datarnya.

"Yang Papa tahu, hubungan lelaki dan perempuan itu hanya pernikahan." Papa meninggalkan tempat begitu saja tanpa menengok kembali padaku.

***

Jumat mendung, mendukung karyawan sepertiku untuk pulang lebih awal dan bersorak dalam hati karena esok adalah weekend yang artinya dapat menghabiskan waktu hanya sekedar gulang-gulung di atas ranjang tanpa harus memikirkan deadline. Kulajukan mobilku di bawah gerimis menuju kantor Zhio, memberanikan diri masuk kandang buaya.

Mobilku terparkir di basement kantor Zhio. Masih banyak mobil di sini hingga aku tak dapat memastikan apakah mobil Zhio masih tertinggal atau tidak. Dari dalam mobil kulihat beberapa orang keluar dari lift. Beberapa dari mereka kuingat adalah teman kerja Zhio tapi tak nampak Zhio di sana. Ketika hendak membuka pintu, kulihat Avanza hitam seperti milik Zhio lewat. Dengan penuh ketenangan kucek plat mobilnya. Apakah milik Zhio atau Avanza jutaan umat lainnya.

Benar. Feelingku tak salah, itu memang mobil Zhio. Tanpa babibu, kuikuti mobil hitam itu. Menemukan mobil milik lelaki jangkung itu saja sudah membuatku sedikit bernapas lega. Itu artinya Zhio dalam kondisi baik-baik saja dan aku tinggal menanyakan alasan dirinya menghilang bagai jin itu.

Selang berapa lama kusadari kalau mobil itu tak melaju menuju kediaman Zhio melainkan jalan menuju rumah Lita. Meski saat pertama kali mengantar Lita sudah malam tapi aku masih sangat jelas ingat jalan ini. Untuk apa Zhio ke sana? cengkeramanku pada setir mobil mengetat, detak jantungku menderu.

Mobil Zhio berhenti tepat di depan kediaman Lita. Zhio keluar dari sana seorang diri, dengan memberanikan diri kubuka pintu mobil dan berjalan mendekati lelaki itu. Zhio terlihat sedang memencet bel di samping gerbang.

"Yo..." tegurku.

Zhio menoleh, matanya membulat sempurna. Kaget dengan keberadaanku saat ini, "Rizka, kamu ngapain di sini?"

"Harusnya aku yang tanya kamu ngapain di sini."

"Itu aku..." ucapan Zhio yang terbata membuat amarahku seketika berkobar.

"Merindukan mantan pacar? Atau sudah balik jadi pacar?"

Zhio mencengkeram pergelangan tanganku, "nggak, Riz. Kamu tahu kan landasan sebuah hubungan itu adalah kepercayaan dan kamu harus percaya kalau aku nggak seperti yang kamu pikirkan saat ini."

Aku coba menarik lenganku, "apa yang aku pikirkan, Yo? Coba jelaskan kenapa selama dua hari kamu nggak ada kabar dan sore ini aku menemukan kamu di depan rumah Lita. Kepercayaan apa yang mesti aku pegang, Yo?" ujarku menggebu, menaikan satu oktaf nada suaraku.

Zhio sudah keterlaluan. Selama ini aku tak melarang dirinya nongkrong ke manapun. Asal pamit padaku. Aku tak mencegah Zhio bertemu dengan Lita asal tak berdua, kami sudah menyepakati itu. tapi kenapa Zhio ingkar?

Zhio memintaku tak bertemu dengan Alvaro, bahkan membalas pesannya pun tak boleh. Aku menurut saja karena kupikir Zhio mampu bertahan di depan orang tuaku yang sudah keras dari sananya. Tapi nyatanya apa? Aku kecewa. Harusnya dari awal aku mengikuti perkataan Papa bahwa lelaki yang benar serius membangun hubungan adalah dalam pernikahan. Aku terlalu bodoh dan gampang terbuai perasaan.

Apakah selama ini aku hanya dijadikan pelarian oleh Zhio?

"Coba jelaskan, Yo, gimana perasaan kamu kalau aku tiba-tiba menghilang dan ketemu di depan rumah Alvaro? Gimana?"

Zhio hanya diam saja.

Pintu gerbang terbuka, Lita keluar dari sarangnya mengenakan kaos dan celana sepaha. "Ini ponsel kamu, Yo. Kemarin lusa di bandara itu ketinggalan di meja, kamu aku kejar udah masuk duluan, jadi aku bawa saja. Nggak aku otak atik sama sekali. Dari bandara langsung aku nonaktifkan," ujar Lita menarik ponsel dari sakunya kemudian menyerahkannya pada Zhio.

Zhio menerima ponselnya, "makasih, Lit."

Lita mengangguk dengan tersenyum penuh arti pada Zhio, "sama-sama. Aku juga terima kasih untuk jawaban kamu tempo hari." kembali, Lita mengulum senyum kemenangan.

Aku berdiri bagai patung tak berguna, "tolong jauhi Zhio, Lit. Dia udah punya kekasih sekarang," ujarku memberanikan diri. Aku tak mungkin terus-terusan diam saat Lita dengan wajah sombongnya berada di atas angin.

"Oh begitu... lagipula malam itu bukan aku yang ngajak ketemu tapi Zhio," Lita berbalik, menepuk pundak Zhio halus dua kali, "mampir, Yo. Papa nanyain kamu tuh," ucapnya berlalu di balik gerbang.

"Ngomong apa kamu sama Lita malam itu, di bandara?" cecarku.

Zhio tetap mempertahankan genggamannya padaku, "aku bisa jelasin tapi jangan di sini."

Tiba-tiba ponselku bordering. Sebuah pemberitahuan masuk dari Instagram Zhio. Lita menandai Zhio dalam sebuah kiriman. Dengan sekuat hati kubuka apakah postingan tersebut. Saat layar manampakan sebuah gambar di akun Lita, jantungku terasa tertusuk jarum ribuan. Zhio dan Lita terlihat berselfie di Starbuck bandara. Zhio terlihat tersenyum, memancarkan kebahagiaan, berbanding lurus dengan Lita.

"Yo, ini apa?" ucapku menunjukan foto tersebut di depan wajahnya, "Kalau ini yang kamu bilang kepercayaan, berarti aku bodoh percaya sama kamu."

"Rizka..."

Kutarik lenganku sekuat tenaga, memberontak pada Zhio, "kita selesai sampai di sini saja, Yo."

---

Karanganyar, 25 Februari 2019

FatmaLotus

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang