(14) Retak.

4.5K 448 60
                                    

'Kepercayaan seperti apalagi yang harus kuberi? Pengorbanan perasaan apalagi yang harus kupendam dan kututupi?'

*******

          Dilla masih berada di atas gedung tua kosong ini, dan ia masih merunduk seperti bayi kehilangan ibunya. Arka tadi sudah mencoba membujuk Dilla, agar gadis itu berdiri, dan beranjak pulang, tetapi ia tak bisa. Dilla tetap pada prinsipnya, berdiam diri, merunduk, tak tau sampai kapan.

"Gue khawatir liat Dilla begini," ucap Erik.

Arka memang menghubungi Erik untuk datang ke gedung ini, dan melihat sendiri keadaan Dilla. Erik sendiri sudah mendatangi Dilla tadi, membujuknya pulang, tetapi hasilnya nihil, gadis itu tetap bersikeukuh tidak ingin beranjak pergi dari tempatnya.

Untungnya, langit hari ini mendung, tidak panas terik. Langit hari ini seolah tengah bersahabat dengan suasana hati Dilla yang memang sedang kacau, sama-sama mendung, tidak ada matahari sedikitpun.

"Handphone Dilla mana, Ar?"

"Di tasnya, mungkin udah lowbat, soalnya ngga di matiin kan dari kemarin?"

Erik mengangguk. Lalu ia mendatangi Dilla lagi.

"Go home, now?" Ajaknya pelan.

Dilla mendongak, lalu tersenyum tipis pada Erik. "Ok."

Erik menatap Arka, lelaki itu mengangguk. Akhirnya, Dilla mau beranjak pergi dari tempat ini. Lalu Erik membantu Dilla berdiri, ketika lelaki itu memegang lengan Dilla, ia terpekik kaget.

"Astaghfirullah, panas!" Serunya.

Dilla hanya menatap Erik bingung. Lalu Erik menggendong Dilla, dan membawanya turun ke lantai bawah menuju mobil. "Ar, cepat ke rumah sakit!"

"Gue ngga mau!" Seru Dilla.

"Lo mau gue ceburin ke sungai Seine sekalian, supaya mati?"

"Iya! Bunuh aja gue, bunuh!"

Erik menggeleng tak percaya, selama mengenal Dilla, baru kali ini ia seperti sekarang. Biasanya, mau seperti apapun kelakuan Dhavi, atau sehebat apapun masalah yang Dhavi dan Dilla lalui, ia tak pernah sesetress ini.

"Bunuh gue, Rik!" Seru Dilla, memukul dada Erik.

Erik hanya diam, lalu memasukan Dilla ke dalam mobilnya. Arka yang menyetir, dan Erik di samping Dilla untuk menenangkan gadis itu.

Erik benar-benar tak mengerti, apa yang Dhavi perbuat hingga Dilla bisa menjadi seperti ini? Erik tau dan sangat paham kalau dulunya Dhavi adalah Playboy, tetapi ketika mengenal Dilla, rasanya Dhavi sudah berenti dari itu. Erik sudah membuka handphone Dilla, tetapi handphone gadis itu mati karena lowbat. Padahal, satu-satunya cara mengetahui Dilla kenapa, hanya ada di situ.

Dilla merebut handphonenya, lalu ia terkekeh pelan. "Ngga usah kepo!" Serunya.

Ia sekarang sedang meracau tak jelas, seperti sadar tetapi tak sadar. Lebih tepatnya Dilla sekarang seperti orang yang sedang mabuk.

"Ayo Rik, gendong dia, udah sampai." Arka membukakan pintu Dilla.

Dilla melihat kalau ia ada di rumah sakit, dan Dilla meronta. "Gue ngga sakit!" Serunya berkali-kali.

HopelessOnde histórias criam vida. Descubra agora