05. Katanya, sih, salah paham.

274 61 26
                                    

Setelah hampir satu tahun bekerja, Olin mulai merasa terbiasa duduk berlama-lama dan berkutat dengan komputer atau kertas-kertas berisi laporan keuangan hingga lupa dengan keadaan sekitar. Apalagi ini sudah mendekati akhir bulan, sudah dipastikan semua karyawan akan lebih sibuk dari biasanya.

"Olin, saya minta draft report PT YMMD jam 1 kirim ke saya, ya. Sekalian cek laporan aktuarianya juga, saya tunggu!"

Mendengar intruksi dari seseorang yang berada di sebrang mejanya membuat Olin spontan menatap ke arah sumber suara. "Untuk periode yang berjalan kapan, Mas? Bulan ini atau bulan sebelumnya?"

"Bulan ini saja, untuk periode sebelumnya biarkan Ezra saja yang memeriksanya."

"Oke, noted."

Setelah memastikan semua yang akan dikerjakan sudah sesuai dengan intruksi dari seniornya, Olin dengan lihai membuka satu per satu map yang ada di mejanya dan sesekali melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11.00. Dengan demikian, waktu Olin untuk memeriksa laporan yang diminta oleh Langit—seniornya itu hanya tinggal satu jam lagi.

"Thur, PT YMMD itu yang punya bapaknya Mas Cakra bukan, sih?" bisik Olin kepada Arthur yang ada di sebelahnya.

"Iya, punya Om Choirul itu."

"Oke, thanks."

Kehadiran Arthur dan Ezra di kantor membuat Olin merasa bersyukur karena sering mendapatkan bantuan setiap kali dia merasa kesulitan. Bukan hanya Arthur dan Ezra, di kantor ini juga Olin bertemu dengan Langit yang menurutnya pantas mendapatkan predikat senior paling sabar. Dari yang Olin ketahui, Langit hampir tak pernah marah setiap kali Arthur dan Ezra yang umurnya berjarak 2 tahun lebih muda itu menjahilinya. Dunia memang sempit sekali, ke manapun Olin pergi secara kebetulan dia akan selalu terlibat dengan orang-orang terdekat Dika.

"Lin, lo tahu nggak akhir-akhir ini gue stress banget sama kerjaan. Jadi, tiap pulang kantor gue beli kacang kerjaannya," bisik Arthur.

Sebenarnya Olin sudah paham jika Arthur sudah melemparkan pertanyaan seperti itu, artinya temannya satu ini sedang melawak. Meskipun sudah tahu, tapi tetap saja Olin meladeni celotehan Arthur. Katanya, lumayan untuk hiburan.

"Kenapa emangnya?"

"Karena pengin melepas peanut."

Olin terkekeh mendengar jawaban Arthur hingga hal tersebut berhasil memancing Ezra yang sedari tadi tengah fokus untuk ikut bergabung.

"Receh banget lo berdua! Mentang-mentang kerjaannya dikit lagi," sahut Ezra.

"Iya, si paling banyak kerjaan. Jangan serius mulu, Zra, nanti otot wajah lo keliatan tua. Kerja mulu lo, kayak enggak tapi tipes iya."

Ezra menghela napas panjang, kemudian matanya beralih ke Olin yang sedang tertawa tapi pandangannya tak lepas dari layar komputer.

"Lin, mau makan siang bareng nggak?"

"Kalian, kan, nanti bertiga sama Mas Langit juga, gue malu."

"Jangan seolah-olah baru kenal kita, deh," imbuh Ezra. "Kita udah kenal dari zaman SMA dan untuk urusan Mas Langit, santai aja kali. Lo juga udah kenal dia cukup lama."

"Masalahnya gue cewek sendirian," sela Olin.

"Ajak Teh Euis aja,"timpal Arthur.

"Teh Euis mah pasti ke Polres nganterin makanan buat suaminya."

"Ah, jangan-jangan lo juga mau ikut ke Polres sama Teh Euis? Tanya Arthur.

"Gue?" Olin menunjuk diri sendiri, "Ke Polres ngapain?"

Sekala Dalam Cerita | Kim Mingyu√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang