9

90.5K 5.4K 62
                                    

Happy reading

Kembali seperti kemarin, tetapi kali ini Kenan hanya sendirian duduk di bangku trotoar menatap ke deretan penjual yang menunggu dan melayani pembeli.

Sosok itu tak Kenan temukan di sana. Sudah tiga jam ia menunggu dalam kebisuan, melihat ke sekeliling Lapangan Pancasila. Kenan melangkahkan kaki mencari wanita itu berharap dengan mengelilingi lapangan, ia menemukannya.

Kebanyakan pengunjung Simpang Lima adalah para muda-mudi dan juga keluarga kecil yang bahagia. Hanya ia yang berkeliling sendirian, seakan menikmati hidup, tetapi sebenarnya Kenan hanya sedang berusaha merasa nyaman di tempat ramai tanpa seseorang yang menemani.

Tangan Ia masukkan ke dalam saku celana. Jika Nada mengirimkan alamat rumah, maka sudah pasti Kenan tidak akan menuju ke sini berharap menemukan wanita itu di antara ratusan pengunjung dan puluhan penjual.

“Ah.” Kenan hampir terjungkal ke depan akibat dorongan seseorang dari belakang.

“Maaf, Om.”

Kenan berbalik melihat seorang anak laki-laki yang menjadi pelaku dari kejadian tadi, “Lain kali hati-hati.”

Luar biasa, Kenan berlagak layaknya seorang manusia. Biasanya Kenan akan langsung memaki dan menghajar siapa pun yang mengganggu saat ia dalam keadaan gusar.

“Iya Om.” Setelah mengucapkan itu, anak laki-laki tersebut berlalu kemudian menghampiri teman yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Kenan kembali melanjutkan langkah, berharap kejadian tadi adalah pertanda baik. Namun, ternyata harapan itu sirna, hingga sampai pengunjung mulai berkurang, ia tak menemukan wanita itu.

Dengan tanpa hati Kenan menelepon Abrar di jam yang hampir menunjukkan pukul tengah malam untuk menjemputnya dan membawa kembali ke hotel. Abrar mengiyakan permintaannya, tetapi sebelum menuruti sahabatnya itu mengomel dan mengingatkan bahwa sekarang dia telah berkeluarga dan bukan sendirian seperti Kenan.

Kenan tak menggubris ucapan sahabatnya itu, tetapi lama-kelamaan ia merasa bersalah dan merasa bodoh. Ia memperlakukan Abrar sama seperti saat masih duduk di bangku SMP. Pikirannya tertutup dengan kesendirian yang menganggap semua masih tetap sama dan tak berubah.

“Gue pikir lo nggak bakal datang,” ucap Kenan saat melihat Abrar mendekatinya yang duduk di bangku trotoar.

“Gue masih punya hati kali.” Abrar duduk di sebelahnya. “Ke rumah dulu, deh, gue pinjamin mobil yang nganggur buat lo.”

Kenan berdecak, “Lo nggak mau gue repotin?”

“Bukan gitu, Bego,” semprot Abrar. “Gue punya keluarga dan gue nggak yakin lo bakal berhenti ngerepotin gue tengah malam besok,” omelnya.

“Iya maaf, deh, maaf.”

“Gue nggak boleh lama, istri gue pasti marah kalau tahu gue ninggalin dia cuma karena lo.” Dia masih tetap mengomel, “cepat.”

Abrar lebih dulu menjauh dari bangku tersebut, Kenan menyusul sahabatnya ke tempat di mana mobil terparkir.

“Tanyain ke Zara alamat rumah Nada,” ucap Kenan spontan, membuat dua kaki yang ia ikuti berhenti di trotoar.

“Buat apa?” Abrar menanyakan itu sambil melangkah kembali.

“Gue mau lihat rumahnya, layak atau nggak,” alasannya.

Abrar menghela napas, kemudian berbalik. Kenan hampir saja menabraknya. “Bukannya gue nggak mau bantu, Bro. Lo tahukan istri gue langsung naik pitam kalau berurusan sama lo.”

Kenan tahu hal itu, dan ia sama sekali tak mempermasalahkan sikap Zara padanya. Beginilah jadinya jika kalian menebarkan luka di masa muda. “Gue harus cari Nada. Kalau bokap sampe tahu gue sudah ketemu dia terus nggak bantu, bisa kacau hidup gue.”

Abrar kembali menghela napas, “Gue peduli sama lo, Ken, tapi gue bener-bener minta maaf nggak bisa bantu lo. Bisa-bisa Zara nyuruh gue tidur di luar.” Ia bergidik ngeri.

“Tidur di luar doang lo takut,” ejek Kenan

“Lo belum tahu rasanya nikah yang bener-bener nikah. Tidur di luar itu kayak kiamat buat suami.”

Terhitung sudah tiga hari Kenan berada di kota Semarang. Setelah bertemu Nada di Simpang Lima, Kenan kembali ke tempat tersebut saat malam hari dan berharap wanita itu akan berada di sana. Namun, harapannya benar-benar sirna saat malam kedua ia kembali, dan tak ada tanda-tanda keberadaan wanita itu.

Viona telah berada di sebelah Kenan, tetapi rasanya hambar dan tidak sama seperti dulu lagi. Kenan mendesah frustasi, ia tak tahu apa yang terjadi padanya saat ini.

Kekasihnya sedang duduk di sofa sambil menonton serial India, tak mempedulikan Kenan yang terlihat tidak baik-baik saja.

“Aku ketemu Nada, Vi." Topik yang diangkat Kenan benar-benar membuat Viona terkejut, terlihat dari reaksi wanita itu.

“Terus dia di mana?” Viona menoleh ke arah Kenan, terlihat jelas bahwa kekasihnya penasaran informasi yang ia bawa.

“Aku nggak tahu, dia nggak mau ngasih tahu,” jawab Kenan. “Aku dan Nada nggak sengaja ketemu di Simpang Lima, setelah itu nggak ketemu lagi.”

Viona terlihat kecewa mendengar cerita yang keluar dari mulutnya. “Kamu punya kontaknya, nggak?”

Kenan mengangkat satu alis. Biasanya jika seorang pria peduli pada wanita lain, maka wanitanya akan sangat marah dan cemburu. Itulah sikap asli seorang wanita, tetapi Viona sama sekali tak memperlihatkan ekspresi tersebut. “Punya.”

“Bagus.” Viona mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. “Hape kamu, aku mau nelepon dia.”

Dengan sangat ragu Kenan memberikan benda pipih itu pada Viona, “Dia nggak bakalan ngasih tahu. Percaya, deh.”

Viona berdecak tidak peduli, kemudian mengotak-atik ponsel Kenan. Kekasihnya menempelkan si kotak canggih itu di telinga, kemudian bersandar di sofa terlihat sangat rileks tanpa beban. Kenan ikut penasaran, apakah Viona akan berhasil membujuk wanita itu.

“Halo, Nada?” Viona kembali bersuara setelah hening beberapa saat. “Ini gue Viona.”

Kenan mendekatkan telinganya ke telinga Viona yang tertempel ponsel. Ia ikut larut dalam obrolan kedua wanita itu yang terdengar santai, seakan-akan mereka tak punya masalah. Sedikit pun Kenan tak merasa curiga, karena ia tahu seberapa dekat kedua wanita itu.

“Gue ke sana bareng Kenan.”

Hening. Kenan tak mendengarkan apapun dari seberang sana, begitu pula dengan Viona. Mereka berdua menunggu keputusan Nada, yang sepertinya masih sangat enggan untuk mengatakan tempat persembunyiannya.

VOTE

Directions of Love #1 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang