14

88.7K 5.3K 72
                                    

Latihan bola basket di hari sabtu adalah hal biasa bagi Dhan, tetapi pemandangan di tepi lapangan menjadikan semuanya nampak tidak biasa. Ia benci dengan apa yang terjadi di luar lapangan.

Benar kata pepatah, dunia tidak selebar daun kelor. Buktinya, pria yang mengaku sebagai ayahnya mengenal pelatihnya. Bahkan mereka terlihat akrab sampai-sampai tim basket dibiarkan untuk bermain sendirian tanpa mendapatkan materi tentang strategi baru.

Dhan duduk di tepi lapangan, memunggungi kedua pria itu yang sedang berdiri di sisi lain lapangan. Rian menghampiri, menepuk bahu sebelum duduk di sebelahnya. Ia tahu Rian akan bertanya apa dan tentang siapa.

“Ayah kamu cakep banget Dhan,” pujinya yang langsung Dhan hadiahi dengan bola mata yang berputar. “Lihat, tuh. Anak-anak tari pada keluar semua.”

“Bodoh amet,” ujarnya acuh.

“Kamu kenapa, sih, Dhan?” Pertanyaan lagi, tetapi kali ini pertanyaan mengenainya.

“Nggak apa-apa.” Ia meluruskan kaki menyentuh lantai lapangan.

Dhan diam, menatap ujung sepatu. Senggangnya waktu adalah hal yang ia hindari untuk hari ini. Sudah pasti teman-teman akan bertanya tentang pria yang datang menyusulnya saat latihan. Padahal bangun pagi tadi, pria itu tak Ia temukan di ruangan mana pun. Sialnya, kelegaan Dhan berakhir pada saat Ia memulai latihan.

Tak ada sedikit pun kemarahannya tentang Kenan yang tak pernah datang menemuinya. Masalah yang bergejolak di hatinya sekarang adalah pria itu yang memutuskan ingin menikah lagi.

Seharusnya Kenan tahu apa yang membuat Dhan sangat kecewa. Jujur ia pun berharap apa yang direncanakan pria itu bersama wanita lain tidak akan pernah terjadi, tetapi Dhan tak bisa meminta melihat bundanya tidak berkutik untuk membantu mewujudkan keinginannya.

Namun, di balik kekecewaan itu, ada satu hal yang membuat Dhan tak ingin mendengarkan penjelasan kedua orang tuanya. Ia takut mendapatkan kenyataan bahwa dirinya lahir tanpa ikatan pernikahan, dari pada mendengarkan, lebih baik ia tidak pernah tahu selama sisa hidupnya.

“Ayah kamu kenapa bisa kenal Coach Odhi?”

Dhan menjawab pertanyaan Rian dengan gelengan. Tentu saja maksudnya adalah tidak tahu. Kenal pria itu saja belum cukup satu minggu, mana ia tahu kehidupan dan masa lalu Kenan.

“Dhan!”

Suara berat Kenan memanggilnya, tetapi Dhan tidak menggubris dan lebih memilih untuk berpura-pura sedang menatap sepatu dengan pikiran yang melayang ke segala arah. Terserah teman-temannya mau bilang anak durhaka, yang penting ia terhindar untuk bertatap muka dengan pria itu.

“Dhan, ayah kamu manggil.”

Ia melirik kapten tim basket yang sudah pasti adalah kakak kelasnya. Andra namanya, terkenal sangat taat ibadah, sikap tenang dan tidak cepat terbawa emosi. Sangat cocok untuk menjadi seorang kapten, dialah yang menjadi pedoman Dhan untuk mendapatkan posisi tersebut.

“Malas, Kak,” ujarnya. “Kejauhan.”

Rian yang duduk di sebelahnya tertawa kecil. “Pemalas sekali Anda.”

Kata malas tidak tertulis dalam kamus Dhan. Selama ini bundanya mengajarkannya untuk tidak menempel terus pada tempat yang terakhir ia tempati. “Ngapain, sih, tuh orang. Bikin hilang mood aja,” sungutnya. Satu tepukan mendarat di punggung. tentu saja itu ulah Andra yang tak suka dengan ucapannya.

“Nggak baik, lho, Dhan. Bikin orang tua nunggu.”

Dhan berdiri, dari pada harus mendengarkan ceramah Andra yang sudah pasti akan berhenti saat ia menuruti permintaan pria yang hari ini benar-benar mengacaukan suasana hati.

Directions of Love #1 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang