Chapter 4

3.9K 613 101
                                    

Bertahan atau menyerah pada takdir?

Orang tua Seungcheol selalu mengajarkannya untuk tak pernah melanggar janji, dan kini ia tengah berusaha untuk melaksanakannya dengan baik. Keadaannya saat ini benar-benar dilema. Tattoo di pergelangan tangannya muncul sebagai janji sehidup semati dengan soulmate-nya. Dan untuk menjalani takdir di atas janji itu, Seungcheol harus menciptakan sebuah pengkhianatan terhadap janji yang ia deklarasikan pada Doyoon. Sungguh ironis memang, bahkan bagi Seungcheol sendiri.

Doyoon, pusat kebahagiaannya, tentu saja menjadi alasan bagi Seungcheol untuk bertahan. Akan sangat tidak adil bagi Doyoon yang telah menemaninya dua tahun belakangan ini jika Seungcheol menyerah begitu saja. Senyuman hangat yang diberikannya ketika Seungcheol menyambut pagi selalu menjadi penyemangat baginya.

Tetapi di sisi lain, ketidakhadiran Yoon Jeonghan dalam hidupnya benar-benar menyiksa, tidak hanya hatinya, namun juga fisiknya secara literal. Kerinduan untuk mendengar suaranya, memandang wajahnya, dan menikmati senyumannya seperti saat pertama bertemu benar-benar membuncah saat ini. Seungcheol tak dapat mengelak dari takdir, sosok Yoon Jeonghan seperti mengikutinya kemanapun walau ia telah menghindar sekuat tenaga.

Ada rasa ingin memiliki yang tiba-tiba muncul ketika Seokmin memuja soulmate-nya lewat kata-kata hari itu. Keposesifan yang sebelumnya tak pernah ia ketahui ada dalam dirinya pun kini turut hadir ketika kedua matanya menyaksikan sendiri tubuh soulmate-nya berada dalam rengkuhan laki-laki lain di dalam Dream Café.

Seungcheol tidak menguntit, sungguh. Siang itu ia hanya memarkirkan mobilnya di seberang café guna mengobati rindu yang tak lagi dapat ditahannya. Ia memandangi soulmate-nya beraktivitas di balik jendela kaca besar yang ia desain, meski jarak memisahkan mereka. Seungcheol mendapati dirinya sendiri tersenyum ketika Jeonghan tersenyum pada pelanggan dan pegawai-pegawainya. Dalam benaknya, senyuman itu hanya ditujukan padanya, Yoon Jeonghan sebagai pusat universe  dengan bayangan-bayangan semu yang meliputinya.

Pun Seungcheol mendapati dadanya bergemuruh karena amarah ketika laki-laki berambut cokelat itu memeluk tubuh soulmate-nya. Tangan laki-laki itu mengelus surai hitamnya, lalu pipi dan keningnya. Laki-laki itu kemudian menggandeng Jeonghan masuk ke dalam ruang pegawai, dan seketika tubuhnya memanas. Bukan lagi karena amarah, Seungcheol benar-benar merasa tidak enak badan saat ini.

Soulmate-nya sakit, hanya itu yang dapat ia disimpulkan. Atau justru dirinya? Berbagai pertanyaan lalu lalang, apakah soulmate-nya juga mengalami hal yang sama, terpengaruhi dirinya dalam kehidupan, merasakan rindu ketika Seungcheol rindu. Terlalu banyak yang tak Seungcheol ketahui, baik mengenai soulmate-nya ataupun mengenai hubungan yang ada di antara mereka. Untuk itu, saat ini Seungcheol memutuskan tidak memilih bertahan atau menyerah pada takdir. Seungcheol akan menyerah pada dirinya sendiri.

Ia melangkahkan kakinya memasuki café setelah memantapkan hati. Pegawai berambut merah dengan nametag bertuliskan Xu Minghao di dada menyambutnya dengan senyum dan ucapan selamat datang dalam aksen yang asing.

Ah, counter itu lagi. Tempat bersejarah di mana tattoo hitam terukir pada pergelangan tangan kirinya, menandakan  permulaan kehidupannya yang baru. Seungcheol menghembuskan nafasnya beberapa kali, berusaha untuk menenangkan detakan jantungnya yang begitu kencang sejak ia melangkah masuk tadi.

"Cappuccino saja satu." Ucap Seungcheol, lalu menyerahkan kartu kreditnya untuk membayar.

Minghao memintanya untuk menunggu pesanan di meja, kemudian mengembalikan kartu kreditnya. "Ada lagi yang bisa kubantu?" tanya pemuda itu dengan sopan.

"Yoon Jeonghan."

Minghao memiringkan kepalanya tidak mengerti. "Maaf tuan, tapi Yoon Jeonghan tidak ada dalam menu kami."

Kata TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang