2b

76.4K 6K 266
                                    

Freddy sibuk membetulkan lilitan perban di lengan hingga bahunya. Dia mencoba mengulurkan lengannya untuk memastikan gerakannya tidak terganggu. Lelaki itu menyeringai saat menyadari lengannya persis seperti molen putih besar.

Freddy menoleh menatap Gabriel yang sibuk menulis sesuatu. "Apa yang sedang kau tulis, Gabe?"

Gabriel menyahut tanpa melihat Freddy. "Aku sedang menulis keterangan bahwa tulang lenganmu sudah hancur menjadi serpihan hingga tidak bisa disambung lagi. Jadi aku merekomendasikan untuk segera dilakukan amputasi."

Freddy terkekeh. "Kau sungguh lucu, Gabe."

Gabriel mengabaikan komentar Freddy dan terus melanjutkan kegiatannya. Mendadak Freddy turun dari ranjang rumah sakit lalu menghampiri Gabriel. Lelaki itu mengintip tulisan Gabriel.

"Shit! Kau benar-benar menulis seperti itu."

Freddy langsung merebut kertas dari papan klip yang digenggam Gabriel. Dia membacanya lagi untuk memastikan dirinya salah.

"Astaga, Gabe. Kau adik yang sangat kejam."

"Kau bilang ingin cuti. Kau bisa mendapat cuti panjang jika lenganmu diamputasi, kak." Sahut Gabriel ketus.

"Aku bilang hanya dua minggu. Kalau seperti ini kau bisa membuatku kehilangan pekerjaan." Sungut Freddy sambil merobek kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Papa pasti senang jika kau berhenti menjadi polisi. Dia jadi memiliki penerus perusahaannya."

Freddy melipat lengan di dada sambil menatap adiknya lekat-lekat. "Kau selalu saja membujukku untuk meneruskan bisnis papa. Kenapa tidak kau saja yang melakukannya?"

Gabriel membalas tatapan mata abu-abu milik kakaknya. "Aku tidak tertarik dengan bisnis papa. Lagipula kaulah anak tertua, kak. Kau yang lebih berhak menjadi penerus papa."

"Aku juga tidak tertarik dengan bisnis papa. Dari dulu impianku menjadi polisi."

"Baiklah, terserah. Setidaknya berhentilah bersikap kekanak-kanakan, kak. Mau sampai kapan kau terus menjahili orang lain? Usiamu sudah tiga puluh tahun tapi kelakuanmu masih seperti remaja." Gabriel mengomel sambil mencari-cari sesuatu di kotak obatnya.

Tiba-tiba Freddy terbahak. "Aku sudah bukan remaja lagi. Buktinya tidak ada yang pernah mengirimku pulang ke rumah mama dan papa lagi."

Gabriel hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah kakaknya. Dia jadi ingat dulu papa mereka pernah mengirim kakaknya ke sekolah asrama karena dia membakar gudang jerami milik tetangga yang seorang peternak sapi. Ketika ditanya alasannya, Freddy dengan santai mengatakan bahwa dia kesal ketika melihat tetangganya itu memberi cap pada sapi-sapi mereka dengan besi panas. Saat itu, Gabriel yang masih SD dan mamanya menangis sepanjang malam karena kepergian Freddy.

Baru sebulan berlalu ketika kakaknya dikirim pulang oleh ketua asrama. Mereka mengaku tidak sanggup mengurus Freddy hingga membuat papa mereka semakin murka. Freddy dengan senang hati bercerita kepada Gabriel bahwa dia pernah mengganti mentega dengan sabun colek untuk cuci piring, melepaskan katak ke kamar para pengurus asrama ketika malam, mengunci anak-anak yang tidak disukainya ke gudang, atau melempar makanan ke wajah temannya ketika makan siang bersama hingga terjadi perang lempar makanan.

Dua hari kemudian papa mereka kembali mengirim Freddy ke asrama yang lain. Gabriel kembali kehilangan sang kakak. Berbeda dengan Freddy. Tidak pernah ada rasa takut dalam dirinya meski ia masih remaja dan harus beradaptasi di lingkungan baru. Baginya hidup untuk bersenang-senang.

Seperti sebelumnya, baru sebulan berlalu Freddy kembali dipulangkan dengan alasan yang sama. Papanya masih belum menyerah. Freddy kembali dikirim ke asrama namun untuk yang ketiga kalinya itu dia hanya bertahan selama dua minggu.

Polisi Penggoda (TAMAT)Where stories live. Discover now