Wattpad Original
Te queda 1 parte más de forma gratuita

Bab 8 - Pacaran, Siap?

51K 4.1K 29
                                    

Nyokap gue udh gue kasih tahu duluan kalau kita pacaran.

Sudah lima belas menit lamanya Rama menatap pesan yang masuk ke dalam ponselnya, tak menghiraukan pesan-pesan lain yang belum ia baca. Matanya mengerjap, seolah tak percaya dengan pesan yang dikirim oleh Adinda.

Selama tiga puluh tahun hidup di dunia ini, Rama tak pernah tertegun lama hanya karena sebaris pesan. Senyumannya tertarik sedikit, tetapi tetap saja menunjukkan bahwa ia tengah tersenyum seperti apapun ia mengelak.

Sebelum pulang dari Apartemen Arkan, Rama sengaja memberikan nomor ponselnya untuk Adinda, mana tahu terjadi sesuatu yang tak diinginkan, dan Rama bisa segera mengatasinya—tentu saja itu semua sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap Adinda.

Tanggung jawab. Tolong dicatat baik-baik. Tanggung jawab.

Rama berdehem, ia memutuskan untuk menelpon nomor itu, alih-alih membalas pesannya. Entah mengapa jari-jarinya tak sudi untuk mengetikan pesan balasannya, dan dengan lancangnya jari-jarinya malah bergerak, memilih ikon panggilan di nomor Adinda.

"Eh, ngapain lo nelpon gue?" suara kencang di seberang sana membuat Rama tertawa. Tidak di TV, tidak sedang berbicara langsung, tidak di telepon, suara Adinda tetap sama ... sama-sama keras dan mengganggu telinganya. Tidak tahu juga kenapa ia malah tertawa. Mungkin karena suara Adinda sejelek itu?

"Jari-jari gue kram, nggak bisa ngetik."

Kalau Bagus ada di sini, sudah bisa dipastikan pria itu akan melempar benda yang dipegangnya pada target sasarannya; kepala Rama. Mendadak Rama memegang jidatnya yang terus menerus terkena lemparan hari ini. ugh, sakit juga. Sepertinya ada warna biru atau ungu di sana. Biar Rama periksa nanti.

"Emang jari bisa kram ya? baru tahu gue," kata Adinda di seberang sana.

Rama memasang ekspresi angkuhnya, "Bisa lah, jari juga bisa diamputasi."

Terdengar suara desisan di seberang sana. Kentara sekali, Adinda kesal padanya.

Rama berdehem, tidak ingin membuat situasi tak nyaman yang bisa menyebabkan Adinda muak padanya jadi ia mengembalikan pembicaraan pada intinya, "Jadi lo bilang apa aja sama nyokap lo?"

"Eh bentar ya. Jangan kira gue seneng bisa jadi pacar pura-pura lo, malah gue nyesel kok gue mau nerima tawaran itu."

"Kita berdua kepaksa."

"Oke. Iya. Kepaksa. Gue tahu, dan kita juga udah sepakat buat jalanin ini ke depannya, kan? lo juga masih ingat dengan jelas syaratnya apa."

"Hmmm. Inget banget," ucap Rama tak rela. Ekspresi pria itu berubah kesal sekarang.

"Oke, balik ke awal. Jadi, nyokap gue khawatir setengah mati, dan gue bersumpah gue pengen bacok lo, Rama. Tapi gue nahan diri. Intinya ..."

Adinda selalu berbicara intinya tetapi tetap saja ia berbicara dengan panjang lebar dan memutar-mutar. Rama tahu hal satu ini dengan jelas.

"... jadi gue bilang aja kita bertengkar karena hal itu, lo bentak gue, dan gue nangis lah. Sakit hati."

Rama memijat pelipisnya, mau bagaimanapun keadaan dari sandiwara pengalihan ini, tetap saja ia brengsek, ia yang salah, ia pihak yang jahat. Malangnya nasib hidupnya, Tuhan.


****


"Makasih, lo udah bilang sama Mama lo kalau gue brengsek."

Adinda menelan ludah, suara Rama di seberang sana membuat dirinya merasa terganggu. Apa mungkin ia salah bicara?

"Ekhm! Ya, kan lo memang brengsek," lanjut dirinya, "lo seenaknya aja peluk-peluk gue, di halaman pula. Lihat sekarang, akibat dari apa yang lo lakuin."

Found YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora