Arka 10.rev | Mentari 4

29 1 0
                                    

16.04.20.19.20.20.82.G.rt.Rev

Tolong beritahu jika ada kesalahan dalam pengetikan.

~

"Ka," Panggilnya yang lebih terdengar seperti berbisik.

"Hm?" Aku masih menundukkan kepala.

"Gak, gak jadi."

Hening kembali. Sebenarnya aku sudah bosan dengan keheningan yang terus terjadi di antara kami ini.
Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kakiku menyuruhku untuk berdiri dan berjalan mendekati ranjang Mentari.

"Miya," Panggilku, sebenarnya tanpa perlu dipanggil juga dia sudah menatapku.

"Lo itu sebenarnya kenapa, sih?" Tanyaku agak ketus.

"Cuman kecapean."

"Mana mungkin sampe segininya?" Tanyaku lagi karena bosan mendengar alasan penyakitnya yang diakibatkan oleh kecapean.

"Hhm.." Ia menundukkan pandangannya. "Biasa kurang darah sama asupan nutrisi."

"Lo udah kurus gini masih aja jarang makan..."

"Dari mana lo tahu?" Potongnya.

"Lo kan jarang jajan di sekolah. Bekel juga cuma di simpen di meja," Jelaslah aku tahu karena mataku tak pernah berpaling darinya.

"Oh.." Dia mengangguk-angguk kecil.

"Kapan lo balik dari sini?"

"Lusa."

"Oh. Kemarin anak-anak ngapain aja di sini?"

"Cuma ngedo'ain gue biar cepet sembuh sama ngobrol doang terus balik."

"Kemarin si KM (Ketua Murid) ngomongin gue gak?"

"Iya," Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak karena terkejut dengan kenyataan tadi.

Awas lo Rajab!

"Dia ngomong apa aja?" Tanyaku setelah mengembalikan raut wajahku.

"Dia ngucapin apa yang lo chat-in ke dia, katanya."

Bagus, Rajab! Lo hutang dua tonjokan buat muka lo.

Aku mengalihkan pandanganku karena sudah tidak nyaman dengan topik obrolan kami, atau lebih tepatnya aku tidak tahu lagi mukaku harus dimana. Aku menatapi setiap sudut ruangan ini.

"Ka? Waktu kemarin-kemarin lo kenapa ada di UGD?"

Aku meliriknya sekilas. "Keabisan nafas."

"Emang lo bernafas?" Ia bertanya dengan wajah polosnya.

Aku menatapnya malas dan ia hanya tersenyum geli.

"Lo kira ni idung sama paru-paru buat apa?" Ia terkekeh pelan.

"Terserah. Gue keluar dulu."

Aku melangkahkan kaki ke pintu. Selalu saja seperti ini. Aku yang selalu melangkah pergi atau lebih tepatnya menghindar setiap kali dia mencoba membuat nyaman diriku terhadapnya.

Aku meraih kenop pintu. Rasa bersalah ini muncul. Tapi tubuh dan hatiku tak sejalan, kakiku melangkah keluar dari ruangan ini. Tak ada kalimat dari mulut kecilnya untuk mencegahku.

~

Aku menatap Hendra yang melangkah ke arahku dengan wajah yang mencoba diindah-indahkan, padahal ada niat busuk yang sudah aku cium.

Hendra memperlihatkan sebuah cengiran busuk yang sudah aku duga sebelumnya. Aku menatapnya tidak suka. Sudah sangat jelas niat busuknya dibalik cengiran itu.

"Mau apa lo?!"

"Hehe.. Adek gue yang ganteng... Boleh, ya? Gue nyuruh lo nunggu si Miya sampe gue sama my queen and mama mertua makan di luar."

"Bukannya, tadi udah ke kantin ? "

"Ck, gak ada yang enak di sana. Jadi gue nitip Miya dulu ya."

Aku menatapnya malas. "Lo nyuruh gue tanpa inget sama gue."

Hendra mengerutkan dahinya. Sudah ku duga jika dia tidak akan mengerti dengan ucapanku. Lagi pula kenapa aku berkata seperti itu. Mungkin aku sudah ketularan kata-kata mentari.

"Gue juga laper bego!" Ucapku yang sudah tak tahan dengan otaknya yang mendadak macet.

"Oh.." Hendra menggaruk tengku lehernya. "Ya udah nanti gue bungkusin."

"Lo gak nanya gue maunya apa?" Ucapku yang lagi lagi kesal dengan pikirannya.

"Lah ribet, terserah gue! Yang penting sekarang lo tungguin Miya."

"Iya, gue tungguin lo di sini, kalo dalam waktu dua puluh lima menit lo gak dateng gue cabut!"

"Woy! Lo pikir kita makan di ruang sebelah?! Belum jalannya, belum mesennya, belum makannya, belum ngobrolnya-"

"Gak usah ngobrol!" Potongku. "Langsung balik!"

"Suka-suka gue, kalo nanti lo kelaperan tau rasa!"

"Udah sana, banyak bacot lo!"

"Iya iya. Lo juga sana masuk!" Hendra menunjuk pintu ruangan mentari.

"Ngapain masuk?" Tanyaku sambil melirik pintu itu melalui ujung mataku.

"Kalo lo diem di sini lo gak akan tahu kalo tiba-tiba terjadi sesuatu sama Miya."

Aku masih menatap pintu itu dengan kedua ujung mataku. Itu artinya aku harus masuk ke ruangan itu lagi.

Aku menghela napas dan berjalan menghampiri ruangan itu lagi. Aku memutar kenop pintu dan berjalan cukup pelan. Mataku menangkap wujud mungil itu sedang terlelap dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Aku menghela nafas lega, setidaknya aku tidak harus repot-repot mencairkan suasana.

Aku melangkahkan kaki mendekati sofa yang tidak jauh dari ranjang tidurnya setelah menutup pintu dengan pelan agar dia tidak terbangun dari tidurnya. Aku mendaratkan bokongku dengan sangat pelan dan hati-hati, tidak ingin sebuah suara decitan keluar dari sofa ini. Setelah berhasil duduk di atas sofa aku menyandarkan tubuhku ke punggung kursi.

Aku menatap lurus. Di depan mataku ada sebuah wajah yang begitu jujur. Wajah tanpa ekspresi apapun. Jadi ini wajah polos miliknya tak salah jika hatiku ini memilihnya.

~

TBC

Mohon bantuannya untuk memberikan vote dan komentar untuk cerita pertama aku di wattpad ini.

By Lilia631

WHO ARE YOU? [End]Where stories live. Discover now