SEVEN

50.1K 6.8K 318
                                    

Jo mengunci dirinya sendiri lalu berjalan menuju kaca kamar mandinya. "Mampus," gumamnya ketika ia melihat rambutnya yang sudah terlihat begitu pendek seperti potongan laki-laki. Ia tahu kalau January Danadyaksa akan memarahinya habis-habisan ketika melihat rambutnya yang semakin pendek.

Ia tidak mempunyai pilihan dan juga ia tidak bisa melakukan apapun ketika hal itu terjadi. Sekarang Jo menghembuskan napasnya dan berharap ia dapat melarikan diri dari ibunya. Jo keluar dari kamar mandi lalu mengacak-ngacak lemarinya mencari topi yang dapat ia pakai sebelum turun kebawah untuk sarapan pagi.

"Jo!" suara ibunya sudah terdengar dari arah ruang makan.

Jo dapat melihat ayahnya yang tersenyum ke arahnya, Jeromiah Danadyaksa lalu mengubah senyumannya menjadi kerutan di dahinya, "Jo, ini kan masih pagi, sudah pakai topi?"

"Hari ini langsung pelajaran olahraga pagi Pa," jawab Jo dengan cepat.

Ibu tirinya melihat keanehan yang Jo lakukan pagi itu, membawa dua cangkir kopi ditangannya, lalu bertanya, "Ada apa Jo?" Jo memperbaiki letak topinya, lalu dengan cepat membantu ibu tirinya memberikan cangkir kopi panas kepada ayahnya.

"Ah, Jo ngerasa keren aja Ma pakai topi hari ini," jawabnya.

"Biasanya juga kan kamu nggak suka pakai topi. Kamu warnain lagi rambut kamu?" January Danadyaksa tahu apa yang sering Jo lakukan dengan rambutnya dan sering kali ia melihat Jo mengganti warnanya yang akan membuat para guru sekolah Jo menelepon dirinya.

"Jo, Mama akan mendapatkan telepon lagi kalau kamu..."

"Jo nggak ganti warna lagi kok Ma, tenang aja. Jo hanya lagi suka pakai topi. Ngehits banget tahu Ma sekarang," Jo dengan gugup meminum susu dingin yang berada dihadapannya.

Kasa yang baru saja turun, berjalan ke ruang makan dan ketika ia melihat kakaknya memakai topi berwarna hitam hari ini, Kasa tersenyum, "Kak, ngapain deh pakai topi?"

"Gue suka pakai topi, mau apa lo?" jawab Jo.

Jo berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada Kasa, "Gue tunggu di mobil ya."

"Jo, duduk dulu dong. Sarapan sama-sama," January memaksa anaknya untuk tetap menyelesaikan sarapan paginya yang hampir tidak tersentuh. "Kasa, gimana semalam? Kamu sama Max pulang malam sekali."

"Pulang jam berapa kamu Sa?" tanya ayahnya yang terlihat khawatir. "Kalau Max macam-macam Papa sendiri yang akan berbicara kepada Warren Tjahrir untuk mengajar..."

"Pa, Kasa pulang jam sepuluh tepat kok. Max nggak telat nganterin Kasa pulang."

January tersenyum karena ia merasa senang anaknya dapat dekat dengan Maximillian Tjahrir, "Terus gimana Sa? Bilang apa dia? Kamu tolak lagi?"

Jo mengambil kesempatan itu untuk berdiri, tapi ibunya menyadari kepergiannya, "Josephine, selesaikan sarapan kamu."

Jo menggerutu dan perhatian sekali lagi teralihkan darinya kepada Kasa, "Jadi Sa, gimana?" tanya ibunya. Kasa terlihat malu, tapi akhirnya menjawab pertanyaan ibunya, "Kasa terima Ma."

January memekik dan tersenyum senang, "Papa, Kasa akhirnya terima Max jadi pacarnya." Ayahnya menatap Kasa dengan serius dan bertanya, "Kamu serius sama Max?"

"Iya, Pa," jawab Kasa dengan serius dan tegas.

"Should I talk to Max's dad mengenai ini Kasa?"

"Nggak usah Pa. Max baik Pa."

"Kalau sampai dia menyakiti kamu Sa, Papa serius..." Jeromiah menatap anak tirinya dengan penuh kasih sayang. "Papa akan benar-benar berbicara kepada Warren Tjahrir tidak peduli siapa dirinya ataupun siapa keluarganya."

"Papa, Kasa bisa jaga diri sendiri kok."

Jo kembali berdiri, "Aku bakalan telat, aku pergi ya." Kali ini ia tidak membiarkan ibunya ataupun ayahnya menghentikkannya dan ia hampir saja berlari ke arah mobilnya. Jo bukan tidak ingin mendengarkan pembicaraan keluarga mereka pagi ini, tapi ketika handphone-nya terus berdering dan Jo melihat siapa yang meneleponnya, ia tahu kalau ia harus pergi.

"Halo," Jo mengangkat teleponnya ketika ia sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Gimana rambut lo 'monyet-kegatelan'? Udah cukup pendek belom? Gue harap lo sekarang ngaca kalau mau sombong."

"Udah puas?" Jo menutup matanya, tidak ingin mengulang kejadian semalam ketika ia pulang sendiri dan... kejadian itu terjadi. "Gue harap lo juga tahu kalau gue nggak peduli. Rambut gue boleh lo potong, tapi..."

"Tapi apa? Max tetap nggak akan jadi cowok gue?"

"Iya."

"Oh, kalau gitu, adik lo aja kali ya, yang rambutnya gue potong kali ini? Adik-kakak kegatelan sama Max."

"Jangan macem-macem lo sama adik gue!" Jo berteriak dan ia benar-benar takut sekarang.

"Gue mau lo pergi Jo. Dari hidup Max. Jelas kata-kata gue?" 

EVERMORE | BLUE SERIES #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang