Chapter 17 - Prince of Darkness

2K 125 11
                                    

BAGIAN 1
Langit gelap berawan menyelimuti bumi, cahaya terang yang dapat dilihat hanya terdapat pada lampu kamar, perlahan Ryuzaki membuka kedua matanya. Dia sedikit mengerlipkan kedua matanya saat terkejut menerima cahaya putih dari langit-langit sebuah kamar.

Sunyi dan senyap tanpa ada suara binatang satu pun, namun berkat hal itu, dia dapat mendengar suara napas seseorang. Napas yang sangat teratur seperti tengah tertidur pulas, Ryuzaki menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, kini dia menjumpai seseorang berambut pirang keemasan tengah tertidur dengan posisi duduk di kursi dan kepalanya berada di atas ranjang tempat Ryuzaki berbaring.

Kedua tangan perempuan itu menggenggam erat tangan kanan Ryuzaki, bahkan seperti tidak ingin melepaskannya. “Huft ...,” Ryuzaki menghela napas dan menatap ke jendela kamarnya.

Gadis itu mulai terbangun dan mengangkat kepalanya dari ranjang tersebut, wajahnya yang mengantuk terlihat jelas dari caranya mengusap mata dengan perlahan. Dia melihat ke arah Ryuzaki, namun tidak ada reaksi apa pun yang dia keluarkan, mata coklatnya yang indah tampak sedikit kemerahan seperti kurang tidur.

“Kau sudah bangun, Shelvia? Tidurlah lagi jika masih mengantuk,” Ryuzaki mengangkat tangan kanannya dan membelai lembut kepala kekasihnya.

Kedua mata Shelvia melebar, ekspresi cemas dan bahagia membuat wajahnya menjadi sedikit rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Air matanya tiba-tiba mengalir, spontan saja dia langsung memeluk Ryuzaki dan menangis cukup keras.

Setelah beberapa menit kemudian, Shelvia menjadi sedikit tenang, Ryuzaki membangunkan tubuhnya dan duduk di ranjangnya. “Kenapa kau menangis?” tanyanya penuh rasa penasaran.

“Tentu itu hal wajar! Kau tidak sadarkan diri selama sepuluh hari, apakah aku salah jika mencemaskanmu?” Shelvia meneriakkan rasa khawatir yang telah terkumpul di dalam hati kecilnya.

Ryuzaki menundukkan kepala, wajahnya menjadi rumit seakan tidak mengingat hal-hal yang telah terjadi. “Sepuluh hari? Lalu apa yang terjadi dengan ...,” plak!! Tamparan keras membuat pipi kanannya memerah, dia terkejut Shelvia menamparnya cukup keras hingga tidak dapat berkata apa lagi.

“Kenapa kau memaksakan diri untuk ikut ke medan perang!? Lalu kenapa ayah harus menyembunyikan semua itu dariku!? Apakah aku dikirim kemari agar tidak terlibat perang itu!? Kau pasti tahu sesuatu, Ryuzaki!!” suara lantangnya membuat Ryuzaki terdiam, tidak tahu harus memulai dari mana, dia hanya menatap ke arah jendela yang bahkan bintang pun tidak tampak untuk menghiburnya.

“... itu merupakan misi yang diberikan padaku ...,” jawabnya singkat dengan wajah rumit hingga membuat Shelvia terkejut tak tertahankan.

“Kau tahu, ketika kau pulang kemari, aku sangat bahagia mendengarnya. Namun apa yang aku dapatkan? Kau pingsan selama di perjalanan bahkan ketika dirawat aku mendapat kabar sangat buruk. Semua tulang rusukmu patah, organ dalammu terluka parah, mata kananmu sempat buta sesaat. Kau pikir aku bahagia menyambut hal itu darimu!?” Shelvia tak berhenti meneteskan air matanya, melihat orang yang dicintainya jauh darinya, namun lebih dekat dengan kematiannya.

Ryuzaki menoleh ke arah Shelvia, tangan kanannya mengusap air mata yang masih mengalir di kedua pipi kekasihnya. Shelvia semakin mendekat dan memeluk Ryuzaki, selama merawat kekasihnya tersebut, Shelvia tidak sedikit pun kehilangan kesempatan untuk memeluknya.

“Maafkan aku, Shelvia, aku tidak menyangka semua menjadi seburuk ini,” katanya sembari membalas pelukan Shelvia. “Tubuhku juga sudah membaik, ‘kan?” lanjutnya menanyai.

“Un, tabib istana sudah menyembuhkanmu, bahkan dengan bantuan air mata phoenix dari Henry, lukamu menjadi lebih cepat pulih, setidaknya itu yang tabib katakan dua hari lalu.”

Ryuzaki memejamkan kedua matanya, dia terdiam untuk berkonsentrasi dan membuat Shelvia penasaran dengan apa yang hendak kekasihnya itu lakukan.

“Posei, bagaimana keadaanku?”

“Sebenarnya itu hanya dampak normal penggunaan Susano, tapi lukamu sudah sembuh total, kau tenang saja.”

“Baiklah.”

Ryuzaki membuka matanya, dia mendapati Shelvia tengah menatapnya dengan wajah aneh dan dipenuhi rasa penasaran. “Eh!?” tiba-tiba saja Ryuzaki mencium Shelvia hingga membuat perempuan tersebut terkejut karena merasa kecolongan.

Mereka menikmati ciuman itu sampai beberapa menit, bahkan tanpa sadar, Shelvia kini menduduki tubuh Ryuzaki. Mereka memanfaatkan waktu luang tersebut, namun kemudian Ryuzaki melepas ciumannya dan melirik ke arah dinding.

“Ada apa, Ryuzaki?” Shelvia bingung melihat kekasihnya yang tiba-tiba melepas kenikmatan tersebut.

Ryuzaki mengulurkan tangan kanannya ke arah dinding, tiba-tiba tangan bayangan berwarna ungu gelap muncul dan memanjang hingga menuju dinding, namun tangan bayangan itu menuju ke arah sebuah tombol, dalam sekejap ruangan menjadi gelap gulita dan hanya di terangi cahaya lampu yang berasal dari luar kamar.

“Kau selalu saja mengetahui apa yang kuinginkan,” ucap Shelvia disertai sebuah senyuman manis.

“Tentu saja, aku juga menginginkannya,” jawab Ryuzaki sembari menyentuh wajah Shelvia dengan kedua tangannya.

Perlahan wajah mereka berdekatan dan kembali melanjutkan ciuman yang sempat tertunda, tidak hanya itu, Shelvia juga membuka selimut yang menutupi tubuh Ryuzaki dan masuk ke dalamnya kemudian menutupi diri mereka dengan selimut seakan tidak ingin ada orang lain yang melihat mereka hendak melakukan sesuatu.

Beberapa jam kemudian matahari mulai muncul dari ufuk timur, nyanyian merdu burung-burung menjadi alunan musik alami yang khas. Langit cerah menampakkan awan putih di langit, berbagai macam bentuk abstrak menghiasi luasnya atmosfer bumi, karya sang pencipta tersebut memperlihatkan keindahannya dengan sempurna.

Ryuzaki membuka kedua matanya, dia menoleh ke samping kirinya dan mendapati Shelvia yang masih terlelap sembari mendekap tubuhnya. Kulit seputih salju dan selembut kapas tersebut tidak lagi tertutup sehelai benang pun kecuali selimut hangat yang menemani mereka berdua.

Ryuzaki bangkit dari tidurnya dan terduduk perlahan di sisi kanan ranjangnya, dia menahan kepalanya dengan tangan kiri seraya sedikit memejamkan mata kirinya, “huft, dia benar-benar berhasil membuatku kelelahan,” desahnya seraya tersenyum.

Ryuzaki berdiri kemudian menuju kamar mandi, karena memang tidak memakai pakaian satu pun, jadi dia tak perlu melepas pakaian. Dia memutar keran di depannya, semburan air dingin menerjang tubuhnya, Ryuzaki memejamkan kedua matanya dan merasakan sensasi nikmat ketika tubuhnya tersiram air dingin tersebut.

“Hanami ...,” Ryuzaki teringat akan wujud gadis berambut biru laut yang pernah dia temui.

Beberapa saat kemudian pintu kamar mandi terbuka, Ryuzaki keluar sembari mengeringkan rambut hitamnya, dia berjalan menuju lemari coklat tua dan membukanya, matanya bergerak ke sana dan kemari mencari seragam Steinford. Setelah menemukannya, Ryuzaki langsung memakainya, kemeja putih dan blazer hitam serta celana panjang hitam milik Steinford dia gunakan dengan cepat.

“Uaahh ...,” Shelvia menguap sembari mengusap kedua matanya, dia mulai terbangun dan tiba-tiba berjalan ke arah Ryuzaki yang tengah bercermin.

Tiba-tiba saja pelukan mesra di dapat Ryuzaki dari belakang, ketika dia menoleh, perempuan tersebut tersenyum manis.

“Mandilah dahulu, bukankah kau ingin berangkat bersamaku?” kata Ryuzaki sembari menyisir rambutnya.

“Un, tunggu sebentar ya ...,” Shelvia tiba-tiba mencium bibir Ryuzaki kemudian berlari menuju kamar mandi.

Ryuzaki yang sedikit terkejut hanya menyentuh pelan bibirnya kemudian tersenyum. Dia berjalan menuju pintu keluar, memutar knop pintu kemudian menariknya, dia berjalan beberapa langkah dan memperhatikan taman bunga yang berada di depan kamarnya.

“Yo, Ryuzaki. Ke mana saja kau selama ini? Kukira kau sudah mati karena tidak masuk ke kelasmu,” laki-laki berambut coklat yang tak lain adalah ketua kelasnya itu menyapa disertai lambaian tangan.

Ryuzaki tersenyum, uluran jabat tangannya diterima baik oleh Finn. Seorang gadis berambut hitam sebahu muncul dari balik punggung Finn, “ah, selamat pagi, Natasha,” sapa Ryuzaki dengan memiringkan kepala.

“S-selamat p-pagi, Ryuzaki-san,” gadis tersebut terlihat malu-malu dan bersembunyi di balik punggung Finn selayaknya anak kecil.

“Bukankah sudah kukatakan jangan bersikap malu seperti itu, Natasha,” Finn bergeser ke samping kanan sehingga sosok Natasha terlihat jelas di mata Ryuzaki.

“Huft, entah kalian memang saling menyukai atau karena kau seorang lolicon, sehingga kau mendapat kekasih sepertinya, Finn.”

“K-kau salah, tentu saja kami saling menyukai!” jawab Finn dengan gemetar.

Sosok perempuan dengan rambut pirang muncul dari kamar Ryuzaki, “Honey, ayo berangkat!” Shelvia meneriakinya dari dekat.

“Mou, bisakah jangan berteriak seperti itu, kau seperti anak kecil saja,” Ryuzaki sedikit memukul mesra kepala perempuan itu. “Jadi, bagaimana jika kita berangkat bersama?” ajak Ryuzaki pada Finn dan Natasha.

“Hn, sebenarnya itu memang tujuan kami datang kemari,” sahut Finn.

Mereka berempat kemudian pergi bersama, jarak kamar asrama mereka dengan kelas tidak terlalu jauh, hanya saja harus melewati lorong panjang dan sedikit menyesatkan para murid baru jika tidak dapat mengingat dengan baik jalan yang mereka lalui.

Selama di perjalanan pun tidak banyak hal yang Ryuzaki katakan, dia terlihat lebih pendiam dan sering melamun. Banyak hal yang dibicarakan oleh Finn, namun kebanyakan pula dijawab oleh Shelvia. Di sisi lain pula, Natasha yang terlihat malu hanya menatap Ryuzaki dengan tatapan biasa.

Ryuzaki tiba-tiba terdiam, raut wajahnya berubah lebih serius, tentu itu membuat Shelvia ikut berhenti karena tangannya tak dapat menarik Ryuzaki ketika tengah bergandengan.

“Ada apa, Honey?” Shelvia mendekat dan mengamati wajah kekasihnya yang tengah memperhatikan sesuatu, tapi dia tidak mendapati apa pun.

“Ah, tidak ada,” Ryuzaki kembali berjalan sembari menarik tangan kekasihnya tersebut.

“Kau baik-baik saja?” bisik gadis tersebut kepadanya.

“Tentu saja, aku hanya sedikit ...,” kalimatnya terhenti dan berhasil membuat Shelvia menatapnya penasaran, “... malas,” lanjutnya.

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ruang kelas, namun di persimpangan jalan, Ryuzaki berpamitan dan mengatakan ingin mampir ke ruang kepala sekolah, awalnya Shelvia berkeinginan untuk ikut, tapi Ryuzaki menolaknya. Terpaksa mereka terpisah mulai dari saat itu juga.

Tok... tok... pintu kepala sekolah tersebut perlahan terbuka, Ryuzaki masuk dan mendapati Alexis yang tengah menulis sesuatu di bukunya.

“Oh, Ryuzaki, kau sudah siuman ternyata,” Alexis tersenyum melihat Ryuzaki kembali menampakkan dirinya setelah tidak sadar selama beberapa hari.

“Hn, bagaimana kabar Anda, Alexis-san?” tanyanya sembari terduduk di kursi di depan meja Alexis.

“Aku baik saja, adakah sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?”

“Ya, ini mengenai penyerangan yang terjadi beberapa belas tahun lalu yang menyebabkan hilangnya anak-anak di Rouran dan juga peperangan itu ....”

“Hmm ..., baiklah, aku mengerti ...,” Alexis menyentikan jarinya dan membuat perisai kedap suara di ruangannya.

***

Mentari mulai naik hingga berada pada jarak terdekatnya dengan bumi, langit cerah tak berawan menjadi pemandangan indah bagi sepasang kekasih yang tengah bersantai di bawah rindangnya pohon.

Setelah jam pelajaran selesai, Ryuzaki dan Shelvia memutuskan pergi menuju taman. Shelvia memejamkan kedua matanya seraya membelai lembut kepala Ryuzaki yang berada di pangkuannya, hal yang sama pun dilakukan Ryuzaki, dia memejamkan matanya dan menikmati belaian lembut kekasihnya.

Ryuzaki mengingat jelas ucapan laki-laki yang ditemuinya pagi tadi ketika membicarakan masalah mereka.

“... Penjara itu berada di bawah tanah yang dipenuhi para penjaga, untuk menembusnya sendiri, setidaknya kau harus mampu menguasai kekuatan Kamui milikmu ....”

“Huh ..., menyebalkan, aku harus kembali meningkatkan kekuatan mematikan itu ...,” gumamnya dengan desahan berat.

“Ah, ada apa, Ryu?” Shelvia mencolek pipi kekasihnya dengan wajah penasaran.

Ryuzaki membuka matanya dan mengarahkannya pada wajah sang kekasih. “Emm ..., jika aku harus pergi lagi, apakah kau mengizinkannya, Shelvia?” tanyanya dengan sedikit mengernyit ketakutan.

“Ara ..., bukankah kita sudah membuat perjanjian? Aku mengizinkanmu pergi dengan syarat harus mengajakku, ‘kan?”

Ryuzaki mengalihkan pandangannya, “Memang sih, tapi ini cukup berbaha—ya ...!” Ryuzaki terkejut ketika tiba-tiba Shelvia mencium bibirnya.

“Mmmh ..., aku tidak peduli, selama aku berada di dekatmu, itu sudah cukup membuatku bahagia,” ujarnya setelah melepas ciuman sesaat tersebut.

Ryuzaki hanya mendesah sembari memandang bunga mawar merah yang berada tak jauh darinya.

“Huft, jika gadis itu ikut, kau benar-benar harus mempelajari Kamuization lebih cepat.”

“Hah ..., Posei kah? Tidak ada cara lain, ya?”

“Tidak! Lagi pula Kamuization adalah teknik yang wajib dikuasai oleh pengguna Legendary Soul sepertimu dan Emilia.”

Ryuzaki kemudian bangkit dari tidur, dia berdiri sembari melihat ke langit biru nan luas.

“Shelvia ..., kembalilah ke asrama, aku akan pergi ke suatu tempat untuk sementara.”

“Tidak! Aku ingin ikut bersamamu!” teriaknya menolak.

“Tentu kau boleh ikut, tapi bukan kali ini ...,” Ryuzaki menoleh dan memperlihatkan senyumannya pada Shelvia.

Kedua mata Shelvia terbelalak lebar melihat wajah kekasihnya, dia tahu jika saat ini, Ryuzaki akan pergi ke sebuah tempat untuk suatu urusan yang bukan menjadi bagiannya.

“Baiklah, aku mengerti ....”

Parallel: The Another WorldWhere stories live. Discover now