Enam

9.7K 820 31
                                    

Hujan turun rintik-rintik, dinginnya mampu mengusir panas serta kejenuhan para manusia yang sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Sinar matahari berusaha menembus barikade awan kelabu yang menggulung di langit. Dan di bawahnya manusia tampak seperti semut hitam yang merangkak perlahan di kulit ibu kota. Tukang becak mengenakan jas hujan seadanya-jika seseorang cukup jeli untuk meihat robekan di bagian bawah lengan si bapak tukang becak. Macan-macan berwujud mesin beroda empat berbaris bagai prajurit perang, jalanan penuh sesak oleh dengung knalpot dan makian pengendara.

Toni melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia bukan termasuk golongan pengendara yang gemar memencet klakson dan berseru girang saat melihat lampu hijau menyala. Tak ada musik apa pun yang terdengar, hanya ada bising kendaraan dan rintik hujan.

Sedari kecil Toni belajar untuk tidak memperlihatkan emosi apa pun, baik itu bahagia, sedih, marah, bahkan kecewa. Namun, pertahanan Toni runtuh kala ia mendengar Catur menyebut nama pria yang telah menghancurkan seluruh masa kanak-kanak Toni. Ia masih dapat mengingat dengan jelas saat Djarno Wicaksono, ayah kandung Toni, menyentak tangan Catur yang tengah memohon belas kasih sang suami. Wanita itu mengiba, mengemis perhatian dari pria yang tak lagi menginginkan kesetian Catur.

"Mas," pinta Catur kala itu. "Tolong, jangan lakukan ini."

Djarno, lelaki itu diam tak bergeming. Sama sekali tak menunjukkan iba pada wanita yang selama dua belas tahun menemaninya. "Aku sudah memilih."

"Tapi...."

"Aku sudah lelah dengan guncingan orangtuamu!" bentaknya. "Mereka tidak peduli padamu, mereka melihatku sebagai sampah!"

"Mas," isak Catur, kedua tangannya mencengkeram erat kaki Djarno. Wanita itu bersimpuh-memohon perhatian. "Antoni, bagaimana dengan anak kita?"

"Itu urusanmu! Kamu boleh menikah lagi. Aku tidak peduli!"

Toni kecil menyaksikan perpisahan Catur dan Djarno. Ia bersembunyi di balik pintu. Toni gemetar, tak mampu menahan amarah yang menggelegar.

"Mas! Mas!"

Djarno berbalik dan membanting pintu, meninggalkan Catur. Wanita itu hanya bisa menangis, memohon pria itu mengubah pendirian dan kembali.

Djarno tidak kembali.

Catur terus saja menyalahkan kekurangannya yang menyebabkan sang suami berpaling darinya. Dan hal itulah yang membuat Toni muak. Toni hanya akan mencintai satu orang wanita. Ia tak akan tergoda dengan wanita mana pun. Toni akan berjuang mempertahankan hubungan sebab cinta bukanlah....

Tidak, bukan saatnya memikirkan masa lalu. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan dan Toni tak perlu menambahkan melankoli semu.

***

Nayla berjalan sempoyongan. Susah payah ia mencoba mengambil kunci rumah dari dalam tasnya. Sial, membuka pintu sulitnya minta ampun. Nyeri menyerang bahu dan siku Nayla. Setelah beberapa kali umpatan dan pukulan akhirnya pintu terbuka dan Nayla segera menghambur ke dalam. Bagai zombie, Nayla meniti tangga dan mulai menghitung kutukan yang akan ia berikan pada Toni.

Toni. Ya, pria itu benar-benar iblis. Seenak jidat menyuruh bawahannya melakukan ini dan itu. Oh, Toni bahkan menyuruh Miranda mengambil materi milik Rei yang tertinggal di lokasi pemotretan. Rei! Oh, si gembul itu bahkan bisa mengelak dari amukan Toni dengan alasan sakit perut. Alhasil Miranda mau tidak mau pasrah saja menuruti kemauan Toni. Untung saja Tiara, istri Rei, membantu Miranda mencari materi yang dimaksud. Nayla bisa pastikan bahwa Miranda tengah menyusun rencana pembalasan. Kasihan, mungkin Rei akan berakhir ditemukan mengapung di kanal atau kali. Ups, orang-orang yang lewat kanal pun tak akan menyadari keberadaan Rei karena mereka mengira benda mengapung itu bukanlah mayat manusia sebab bentuknya yang mirip dengan Bulbasor, si pokemon.

Sesampainya di kamar, Nayla segera melempar tas dan meloncat ke ranjang.

"Surgaaaaa," katanya.

Membenamkan wajah ke dalam bantal, Nayla mulai berteriak, "Sebal!"

Nayla merubah posisi hingga ia menghadap langit-langit. Hari ini adalah hari terberat dari sekian hari yang pernah dialaminya. Di kantor, tiba-tiba saja Kasih, ibunda Nayla, wanita itu menelepon putrinya. "Nak," katanya. "Kamu kapan nikah?"

Rasanya Nayla seolah tengah ditikam, sakit.

"Mama cuma pengin memastikan kamu nggak ketinggalan. Teman-temanmu sudah banyak yang nikah lo. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang sudah memiliki anak. Nay, kamu kapan?"

Di antara hiruk-pikuk teriakan teman-teman Nayla, ia sama sekali tak memiliki jawaban untuk diajukan.

"Nay, ingat, kamu makin tua. Takutnya Mama, nggak ada lelaki yang mau denganmu."

Ouch, sakit. sungguh perkataan yang menurunkan motivasi Nayla.

"Ma, Nayla juga sedang berusaha."

"Benarkah?" tanya Kasih, ragu. "Mama kok nggak ngerasa kamu memiliki niatan untuk menikah, ya?"

Nayla menyentuh dada, meraba apakah ada darah yang merembes di sana akibat sindiran tajam sang ibu. "Sumpah, Nayla nggak begitu."

"Ya sudah."

Pembicaraan terhenti, meninggalkan rasa perih.

Menghela napas, Nayla merasa jengkel dengan pembicaraan singkat di kantor tadi siang. Benarkah Nayla terlihat begitu mengenaskan?

Oke, Nayla akan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri.

Pertama, Nayla terlalu sering bekerja hingga ia jarang, garis miring, berkencan dengan pria mana pun.

Kedua, pria-pria yang dikenalkan Miranda padanya bukan main ganasnya. Oh, Nayla tak mungkin sanggup menghadapi pria semacam itu. Baginya, ia hanya akan menghabiskan malam sakral itu saat menikah. Menikah. Titik.

Ketiga, wajah Nayla tak termasuk dalam golongan elok memesona. Baiklah, Nayla bisa menerima itu.

Keempat, Nayla butuh menyucikan diri dengan bertapa di suatu tempat. Ya, mungkin ia tengah ditempeli makhluk asing. Pasti.

Tapi yang terakhir itu rasanya terlalu berlebihan. Setan-setan zaman sekarang pastinya memilih pria dan wanita molek untuk diganggu.

Benar, pasti begitu.

Please, Love Me! (Selesai)Where stories live. Discover now