Sembilan

8.7K 876 67
                                    

"Saya, kan, sudah bilang, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam artikel."

Nayla dan Miranda. Kedua wanita itu hanya bisa membatu di depan Toni. Tampaknya dewa kesialan tengah berbaik hati menyempatkan diri untuk membagi sedikit keapesan untuk Nayla dan Miranda. Jadilah, mereka berdua duduk bak anak SD yang ketahuan mencuri mangga tetangga. Ruang kerja Toni lebih cocok disebut sebagi tempat eksekusi. Nayla bisa membayangkan seragam Nazi beserta cemeti yang cocok dikenakan Toni saat ini juga. Lupakan mengenai adegan erotis, hasrat Nayla terbang saat Toni melontarkan rentetan omelan yang rasanya lebih pedih dari bawang merah.

"Pak," ujar Miranda. "Saya sudah mengajukannya ke Edi dan dia pun sudah mengoreksi tulisan saya."

"Lantas kamu merasa masa bodoh dengan hasil akhirnya?" serang Toni.

Miranda diam, tidak membalas.

"Kalian berdua sudah bosan kerja? Oke, silakan ketik surat pengunduran diri dan saya tidak perlu repot mengecek artikel dan laporan yang tidak kompeten."

Laporan nggak kompeten, gundulmu, cela Nayla dalam hati.

"Berapa tahun kalian menulis?" tanya Toni, geram. "Setahun? Dua tahun? Apa embel-embel di belakang nama kalian itu cuma untuk sekedar pemanis? Saya sudah tekankan berkali-kali. Cek. Teliti. Perhatikan kepaduan dalam menulis. Saya tidak suka tulisan yang terkesan subjektif. Tidak semua pembaca tertarik dengan opini kalian. Apalagi reader di media net juga lebih kritis. Mereka bisa memilah mana yang opini dan mana yang fakta."

Oke, Nayla mulai mempertimbangkan minum Panadol dan Fanta.

Revisi, Nayla belum menemukan jodoh, mati muda bukanlah jawaban dari masalah.

Toni mengetuk permukaan meja, kedua matanya menyisir Nayla dan Miranda. "Saya mengharapkan sesuatu yang baru. Kalian berdua dibayar bukan untuk menyebarkan gosip. Kalau kalian tidak suka dengan cara saya, silakan tinggalkan Intermezzo."

Sidang ditutup. Miranda dan Nayla mulai mempertimbangkan menelepon pembunuh bayaran.

***

"Nay, kamu lagi ngapain?"

Selepas jam penghakiman yang menyiksa, Nayla dan Miranda langsung kabur ke kafe. Mereka beralasan melakukan riset untuk artikel produk diet. Tentu saja Rei seorang yang tak percaya dengan kedua wanita itu. Namun masa bodoh, selagi izin diberikan, Nayla dan Miranda bebas untuk melakukan refresing.

"Mencari pembunuh bayaran yang bisa dihubungi," jawab Nayla, santai.

"Gila, kamu bisa masuk neraka."

"Nggak apa-apa. Toh, dosaku yang kemarin juga masih banyak. Nambah satu tidak akan berdampak apa pun."

Pelayan mengantarkan pesanan Nayla dan Miranda. Mereka berdua langsung melahap spageti yang terhidang di atas meja.

"Sumpah," kata Nayla di sela-sela mengunyah. "Tuh orang makan apa sih? Asem banget. Dikiranya kita cuma mikirin artikel apa? Nggak tahu tuh orang kalau aku juga sibuk lari kanan kiri ngejar narasumber yang pahitnya juga nggak ketolongan. Tahu nggak, Nda, kemarin aku nungguin penyanyi dangdut yang terkenal lewat lagu 'Diguyur Asik' ampe enam jam. Enam jam? Dan tuh orang ngeselin banget."

Nayla mulai menirukan oknum yang dimaksud. "Mbak, siapa ya? Udah ada janji sama Eneng? Kampret banget. Pengin nguyur bawaannya. Aku nggak dianggap, Nda."

"Kamu digituin?"

Nayla mengangguk. "Dan itu gara-gara si Toni. Harusnya itu bagiannya Rei, namun entah mengapa Toni langsung mencetuskan namaku. Oh, indahnya hidup ini. Cabai, mana cabai?"

Please, Love Me! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang