Dua Puluh Tujuh

7K 695 27
                                    

Di rooftop, Nayla dan Toni menikmati semilir angin. Duduk di atas rumput sintetis, kedua manusia itu terlihat mempertimbangkan hendak mengatakan apa agar keheningan yang melebar di antara mereka segera melumer. Di samping Nayla tergeletak dua kantong plastik berisi pesanan teman-temannya. Entahlah, kemungkinan Miranda tak terlalu mempermasalahkan titipannya. Secara, wanita itu terlatih menahan monster dalam dirinya saat kelaparan tiba. Nah, lain halnya dengan Rei. Si bapak satu itu kemungkinan mulai menyusun serangkaian kaliman sarkatis yang akan digunakan untuk mengeksekusi Nayla. Yah, Nayla sudah mempertimbangkan berbagai alasan untuk menamenginya dari amukan Rei. Hola, mungkin Nayla bisa menyogok Rei dengan permen cokelat, yang murah tentunya.

Pandangan Nayla terarah menuju langit. Warna biru tanpa semburat putih. "Jadi Bapak rencananya mau begini terus?"

Toni menatap ujung sepatunya, lalu kemudia ia membalas, "Saya hanya nggak yakin kamu siap mendengar seluruhnya."

Nayla terkekeh. "Pak, jangankan kisah segelap cinta bertepuk sebelah tangannya Nyai Pelet, curhatannya penyanyi dangdut pun masih bisa saya tanggung. Eh, Pak. Saya nggak pernah membocorkan satu pun curhatan mereka ke media loh."

"Penyanyi dangdut yang mana ini yang kamu maksud?"

"Itu loh Pak, yang nyanyi gayung ... lah, Bapak kok mengalihkan pembicaraan?" Tanpa sadar Nayla meninju bahu Toni. Tentu saja bukan jenis tinju macam Wongso Suseno ataupun Chris John yang mampu merontokkan gigi. "Balik aja deh. Ngapain kita di sini?"

Toni sigap meraih pergelangan tangan Nayla sebelum wanita itu memutuskan untuk hengkang dari rooftop. "Nay, saya hanya nggak pengin membebanimu."
Kedua alis Nayla bertaut. Kesal.

"Pak, tanpa Bapak curhat pun hidupku ini sudah penuh dengan penderitaan. So, cerita atau enggak, saya pasti sanggup mendengarkannya."

Seulas senyum melukis wajah Toni yang jarang menampakkan emosi. Selama beberapa detik jantung Nayla mulai berdegup. Wanita itu masih tak mampu menolak pesona senyum milik Toni. Senyum yang jarang ditunjukkannya kepada siapa pun. Senyuman yang hanya diperuntukan untuk Nayla seorang. Senyum milik Nayla.

Semburat merah menghiasi pipi Nayla. Wanita itu berdeham, mencoba mengusir kecanggungan yang mulai merayap.

Duduk, Nayla membiarkan Toni tetap menggenggam jemarinya. Dia bisa merasakan kehangatan yang tercipta saat kedua manusia itu bersama. Seumur hidup mungkin hanya Toni seorang, setelah sang bapak, yang bersedia menggenggam tangan Nayla sepenuh hati.

Toni kembali mengarahkan tatapannya ke langit sementara jemarinya tetap menggenggam jemari mungil milik Nayla. "Terus terang awalnya saya takut jatuh cinta."

Hening sejenak, Nayla membiarkan angin mengembus rambutnya yang dikuncir ke belakang. Wanita itu tahu bahwa saat ini mulutnya harus digembok. Alias, dia tak boleh asal melontarkan candaan yang mungkin akan menghancurkan suasana romantis yang mulai tercipta di antara mereka.

Oke, kata Nayla pada dirinya sendiri, jangan ngomong. Jangan ngomong.

"Saya takut merasakan hal serupa," Toni melanjutkan. "Sana seperti yang dialami Mama. Saya tidak ingin merasakan kehampaan yang sama."

Lelaki itu teringat malam-malam ketika Catur menangis seorang diri. Lalu, ketika Toni menanyakan keadaannya, wanita itu akan memasang senyum palsu dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sejujurnya Toni tahu ada yang hancur dalam diri Catur. Serpihan-serpihannya tidak akan bisa disatukan. Bahkan mungkin, tak seorang pun bisa menyembuhkan kehilangan yang dialami Catur. Oleh karena itu, Toni belajar membangun benteng di dalam dirinya. Benteng yang menjauhkannya dari patah hati. Namun tampaknya, dia tak mampu mempertahankan dinding yang biasa melindunginya dari sentuhan cinta. Perlahan-lahan keberadaan Nayla menggerus seluruh ketidakpastian serta ketakutan yang bersarang dalam dirinya. Dinding hancur, cinta pun menang.

Please, Love Me! (Selesai)Where stories live. Discover now