Dua Puluh Tiga

7.3K 726 46
                                    

Singa tak pernah berhenti memimpikan domba. Pada dasarnya semua manusia, makhluk yang memiliki kemampuan mencipta dan menghancurkan, mempunyai sifat pemangsa. Hukum alam. Si kuat mengambil segala yang dimiliki si lemah. Setidaknya singa hanya memangsa untuk memenuhi perutnya sementara manusia tak akan puas sebelum melihat mangsanya terkapar bersimbah darah. Toni sudah memahami seluk beluk tata krama tak tertulis di masyarakat. Sangat paham.

Sepeninggal Djarno, Catur dan Toni harus beradaptasi dengan kehidupan barunya. Catur memilih memberikan setengah jatah makannya agar Toni tak perlu merasa kelaparan sebab bocah lelaki itu membutuhkan tenaga untuk mengolah ilmu di sekolah. Toni awalnya tak menyadari gelagat Catur yang memilih makan setelah Toni. Biasanya wanita itu selalu menemani Toni bersantap sembari mendengarkan celoteh anaknya mengenai kegiatan di sekolah. Hingga pada akhirnya Toni pun menyadari Catur lebih sering menghabiskan waktu dengan melingkari lowongan kerja yang tercetak di koran.

Sebagian pekerjaan yang disediakan tak ada yang mencantumkan spesifikasi bidang yang dikuasai Catur. Memasuki krismon, harga pangan benar-benar mencekik rakyat. Tidak ada orang yang memikirkan perasaan sesamanya saat uang menjadi agama yang dianut setiap manusia. Tak berputus asa, Catur mulai menekuni salah satu hobi yang disukainya yakni, baking. Awalnya ia menjajakan kue ke tetangga, lalu kemudian Toni berinisiatif menitipkan sebagian kue buatan Catur ke kantin sekolah.

Saat itu perjuangan yang harus dijalani oleh kedua manusia itu benar-benar sulit dan hampir bisa dipastikan mustahil untuk dilewati. Terlebih ibu-ibu tetangga mulai menggunjingkan ketiadaan Djarno di antara mereka. Sebagian mengira Djarno bertemu wanita cantik, yang lain berkata bahwa Catur tak mampu menyenangkan Djarno, dan selebihnya terlalu pedih untuk digambarkan.

Tapi Tuhan tak pernah tidur. Ia selalu mendengar doa-doa hamba-Nya yang beriman. Catur diterima bekerja di toko pastry dan perlahan-lahan perekonomian Toni serta ibunya pun membaik.

Kenihilan Djarno bukanlah alasan yang mengharuskan Toni berhenti untuk melanjutkan hidup.

Dari sanalah Toni belajar untuk menjadi karang yang tak gentar dihadang ombak. Ia tak harus menyesali keberadaan di dunia. Adapun yang harus ia lakukan ialah bertahan hidup.

Toni ingin kehidupan baru.

Toni akan memperjuangkannya dengan cara apa pun.

Termasuk, bertatap muka dengan Djarno.

Kedua pria itu duduk saling berhadapan. Tak ada suasana hangat laiknya ayah dan putranya. Djarno menatap Toni dengan pandangan yang kentara memperlihatkan ketidaksukaan sementara Toni memilih menampilkan wajah sedingin esnya. Ekspresi yang membuat Nayla ingin menggambar senyum merah ala badut di novel IT. Pak King mungkin akan senang memasukkan Djarno ke dalam salah satu karyanya. Toni sempat membaca salah satu tokoh fiksi karangan King yang menceritakan seorang wanita korban KDRT. Wanita itu memilih berhijrah meninggalkan suaminya yang ringan tangan dan menemukan gairah dalam lingkungan barunya. Novel tebal dengan akhir yang menggantung. Namun Toni adalah tokoh utama dalam kisah hidupnya, lelaki itu tak akan membiarkan dirinya direndahkan. Tak akan pernah.

Sungguh ironis, pikir Toni. Lelaki yang seharusnya menjadi benteng pelindung malah memilih menghancurkan istana utama—tempat istri dan putranya tinggal.

"Antoni," Djarno mengucapkan nama Toni. Pria itu seolah tengah mengenang kebersamaannya, walau yang bisa dirasakan Toni hanyalah kegetiran. "Kamu mirip sekali dengan wanita itu."

"Wanita itu adalah ibuku," Toni menyela, geram.

"Seharusnya dia sudah memberikan jawaban dari penawaranku," kata Djarno mengabaikan sindiran Toni. Sadar bahwa putranya menunjukkan tanda-tanda tidak mengetahui perihal cek yang ia serahkan pada Catur, maka Djarno pun kembali melanjutkan, "Tidakkah ibumu sudah memberitahu sejumlah besar uang yang akan kuberikan bila kalian pindah ke luar negeri?"

Please, Love Me! (Selesai)Where stories live. Discover now