16. Kali Pertama

16.3K 1.5K 26
                                    

"Menurut gue wajar sih, Nes. Gak semua rasa suka itu ngebuat seseorang bahagia pas tahu si doi udah jomblo, malah kalau liat reaksi lo itu bisa dibilang lo bukan lagi suka sama Kak Nugi, bisa sayang atau malah cinta."

Bukan, Dir. Gue malah ngerasa hambar, gak ada rasa.

Aku benar-benar kehilangan fokusku setelah kejadian kandasnya hubungan Kak Nugi dan Kak Oliv di depan ruang guru beberapa menit yang lalu. Segera aku meletakkan buku absen kembali ke atas meja Pak Indra dan memilih UKS sebagai tempat menenangkan diri menjelang beberapa menit lagi bel yang  menandakan dimulainya pelajaran selanjutnya berbunyi.

"Tau apa sih anak SMA kaya kita tentang cinta, Dir?" Aku menanyakan Dira yang tengah merapikan rambutnya setelah mengganti baju olahraganya itu.

"Kedewasaan seseorang itu gak dipandang lewat umur. Mengerti definisi cinta, ngerasain jatuh cinta, semuanya gak dibatasin sama umur, Nes. Lo tuh ya, masih aja suka gak jujur sama diri lo sendiri."

Perkataan Dira kali ini memang dengan nada bicara yang biasa-biasa saja tapi intisari dari perkataannya itulah yang terasa benar-benar pas mengenai hatiku.

"Wajar kan, kalau gue ngerasa bingung sama perasaan gue sendiri?" Aku memilih berganti posisi duduk disalah satu kursi kayu.

"Wajar. Tapi kalau nggak ada usaha buat ngertiin perasaan lo sendiri, sama aja nyiksa diri, know what you want itu penting banget, hidup kita nggak selamanya nunggu instruksi orang tua apalagi guru.  apalagi masalah hati, cuma Tuhan yang bisa ngatur, menyikapinya cuma kita yang bisa, yang ngerasain."

"Gue baru nyadar, Dir. Lo udah dewasa ya sekarang." Aku menatap jahil ke arah Dira.

"Heh lo tuh ya, gue seriusin masih aja dikira main." Dira memperlihatkan wajah kesalnya.

"Siapa juga yang ngira lo lagi main, Dir? Gue cuma kagum dengan jalan pemikiran lo itu."

Dira tertawa mendengarkan perkataanku.

"Gue gak sehebat itu, Nes. Kadang cara berpikir orang yang lagi banyak pikiran itu kalah jauh sama cara berpikir orang yang lagi tenang. Liat aja biasanya juga elo yang jadi dokter cinta gue kalau gue lagi ribut sama Bian."

Aku ikut tertawa mendengar perkataan Dira yang ada benarnya.

Aku melirik jam di tanganku menyisakan dua menit sebelum bel.

"Balik ke kelas yuk, Dir. Oh iya nanti gue nebeng pulang bareng lo ya, udah lama gak makan siomay Mang Udin."

"Nah kalau bawa-bawa siomay sih gue takluk." Dira mengacungkan dua jempolnya ke arahku.
.
.

Aku cukup meradang ketika sampai di kelas dan melihat kekacauan telah terjadi di mejaku.

Baju olahraga Arga telah seenaknya mengotori mejaku, sepatu bolanya dengan tali sepatu yang saling bertaut itu tanpa dosa bertengger di sandaran kursiku. Celana kotor dibagian lutut itupun telah duduk dengan tak kalah tidak tahu dirinya di atas kursiku hingga menutupi keseluruhan tasku, sedangkan daerah sang pembuat bencana ini terlihat sangat rapi.

"Sabar, Nes. Sabar." Dira mengelus-ngelus punggungku saat ini.

No! Nggak akan pernah gue suka cowok kaya Arga!

"Kalau lo emosian terus kayanya dia bakal tambah seneng gangguin lo deh, Nes."

Aku mulai mengatur nafasku, yang dikatakan Dira memang ada benarnya.

Entah kemana tersangka itu sedang berada saat ini.

"Okay. Kayanya emang deh nanggapin orang yang gak waras kaya Agar itu yah harus dicuekin aja sampai dia gila sendiri."

Tuan Rasa [Completed]Where stories live. Discover now