10. Unworthy Scaffold

4.3K 497 277
                                    




Prolog

Halo-halo, bosen enggak? Enggak dong ya, tuh buktinya masih betah mampir. Jadi kemarin dapet kiriman sesuatu dari orang yang nggak mau disebtukan identitasnya. Hahaha, terima kasih siapapun kamu ya! Kaosnya pas!

Oh iya, di chapter sepuluh ini, eeuuuum, baca aja deh sendiri. Hahaha.

Kemarin ada yang ngirim pesan ke gue, beberapa sih, bilang, "Gue perhatiin tokoh bottom yang lo bikin kok selalu lebih manly dari topnya sih?" Okay, jadi begini, role hanyalah role, sama sekali enggak terkait dengan fisik. Yang ngodeka tunggal ika jadi top juga ada, banyak malah! Walaupun, mungkin bukan pasar gue. Jadi identitas fisik enggak sepenuhnya menentukan role, gue hanya mau menyampaikan itu. Tapi Gani enggak manly tuh. Ryan, lalu Herman, kalau kalian teliti ada kok tokoh bottom gue yang memang di stereotipkan bottom, walaupun, gue lebih suka bottom yang independent, berkarir sendiri. Buahaha.

Okay, enough buat melanturnya, selamat menikmati selagi hangat. Salam Cup cup cup.

***

Sometimes we may ask God for success, and He gives us physical and mental stamina. We might plead for prosperity, and we receive enlarged perspective and increased patience, or we petition for growth and are blessed with the gift of grace. He may bestow upon us conviction and confidence as we strive to achieve worthy goals—David A. Bednar. Aku sedari mula, masih sambil berguling-gulingan, mencoba memasukkan quote tadi kedalam otakku. Aku berdoa kepada Tuhan agar aku berjodoh dengan Jordan, namun toh Tuhan tidak tiba-tiba menjatuhkan Jordan begitu saja kedalam pelukanku, Tuhan memberikanku kesabaran tiada batas menghadapi ke plin plan-an Jordan. Namun, mengingat kata-per-kata yang diucapkan Haris tadi, aku langsung ciut kembali.

"Tapi selama Mas Jordan yang meminta, saya enggak keberatan. Selama Mas Jordan yang menghubungi Akbar lebih dulu, saya enggak melarang. Tapi. . ." Aku menyadari Haris menggunakan kata tapi lumayan banyak hari ini. "Jika Akbar yang menghubungi Mas Jordan duluan, saya enggak akan diam begitu saja." Haris diam sebentar. "Karena saya yakin, Mas Jordan enggak akan pernah menghubungi Akbar duluan. Jadi, biarkan Mas Jordan bahagia dengan saya, Akbar."

Dan setelah mengatakan itu, Haris pergi dengan santainya. Apa yang dikatakan Haris benar, Jordan jarang menghubungiku terlebih dulu. Selalu aku yang memancing, dan berakhir Jordan yang mengajak bertemu. Atau aku yang langsung to the point minta bertemu. Intinya selalu aku yang memberi pancingan terlebih dahulu. Jadi percuma saja Tuhan memberiku hati yang panjang sabar, karena tidak berguna dalam kasusku kali ini. Aku mengerang frustasi, mungkin aku butuh memecah suatu barang agar frustasiku tersalurkan. Atau memanggil dukun sakti untuk mencabut rasa cintaku pada Jordan.

"Bar?" Pintu kamarku dibuka. "Kamu nggak papa, Nak? Kok dari tadi ngomong sendiri? Ada Nak Joe didepan, temuin gih." Bunda tersenyum. Senyum khas jika Jordan berkunjung ke rumah ini. Aku berjingit sebentar. Untuk apa Jordan kesini, terlebih lagi . . . .

"Ayah?"

Bunda diam sebentar. "Ayahmu tadi sempat ngobrol dengan Nak Joe tak lama, sehabis itu masuk lagi kedalam kamar." Aku manggut-manggut maklum, menahan lidahku untuk bertanya lebih jauh. Bunda keluar dari kamarku, sementara aku merapikan penampilanku. Ini tidak melanggar apa yang dikatakan Haris. Aku tidak menghubungi Jordan terlebih dulu, dia disini karena kemauannya sendiri.

"Hei." Senyum cemerlang itu menulariku, aku ikut tersenyum saat Jordan menyapaku. Aku selalu galau jika Jordan tidak berada disampingku, namun saat dia nyata berada dihadapanku, rasa bersalahku memudar dengan sendirinya. "Boleh minta nambah es tehnya nggak, Bar? Abis nih, kayaknya gelasnya bocor."

AMOR MANET (completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu