8. RATIH

106 20 2
                                    

Minggu pagi sekitaran jam delapan, aku tiba di rumah Ratih. Hari itu Pak Fikri yang menyambutku. Pria paruh baya itu bersiul di teras rumah bersama burung-burung peliharaannya, sebelum akhirnya mengajakku ngobrol di ruang tamu. Jujur saja aku merasa tak enak saat itu. Apa yang beliau pikirkan ketika melihat wajahku ini? Wajah lebam yang menandakan bahwa diriku adalah pemuda kasar, nakal, dan sebagainya. Ah, sudahlah.

Tak banyak yang kami bicarakan. Intinya aku hanya minta izin 'pinjam' Ratih untuk beberapa jam ke depan. Aku bersyukur orangtua Ratih sama seperti orangtuaku. Mereka adalah tipe orangtua yang tidak mengekang, tidak suka introgasi maupun ikut campur. Mereka percaya bahwa anaknya memang bisa dipercaya. Sehingga aku juga tidak perlu merasa terbebani apalagi sampai berbohong pada mereka. Aku harap semua orangtua seperti itu.

Ku ajak Ratih mampir untuk makan Surabi di dekat rumahnya. Minggu pagi, surabi hangat, dan aroma shampoo dari rambutnya. Ah, hari libur terasa mewah dengan kesederhanaan macam ini.

Selesai dari situ ku bawa Ratih naik motor sampai Jalan Kertanegara lalu ke Jalan Tugu melewati alun-alun dan juga balai kota. Kalau boleh jujur, aku termasuk dalam orang-orang yang mencaci-maki penjajah tetapi membanggakan balai kota sebagai peninggalannya. Ah, andai negaraku ini tidak dijajah, buku sejarah pasti lebih tipis.

Ratih memelukku erat. Angin dingin pagi itu bahkan tak terasa lagi karena dia. Di pinggir jalan tampak pedagang es goyang yang duduk menganggur. Ku hentikan laju motorku dan ku ajak Ratih mampir kesitu. Duduk makan es goyang sambil memandang alun-alun kota yang pagi itu cukup ramai.

Sebenarnya yang ini bukan ideku. Aku sering mengobrol banyak hal bersama Mas Eko, supir Ratih. Dia pernah cerita bahwa saat SD Ratih sering minta dibelikan es goyang. Tapi permintaan itu kerap tidak dituruti karena dulu kondisi kesehatan Ratih kerap memburuk. Intinya Ratih sudah dewasa sekarang. Makan es satu kali tidak akan gawat, kan? Ngomong-ngomong terimakasih pada Mas Eko yang telah menjadi informan andalanku.

Aku berdiri, mengeluarkan dompet dan membayar sejumlah uang pada pedagang es. Ah, saat aku menulis kisah ini, rasanya hampir tidak ada yang menjual es goyang lagi. Zaman benar-benar berubah.

Aku tak mengerti mengapa setelah itu Ratih meminta dompetku. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya sendiri. Sebuah foto rupanya. Foto Ratih. Dia masukkan foto itu ke dompetku. "Harus ada foto pacar," katanya. Aku tersenyum. Kuno sekali, kan? Begitulah masa mudaku dulu. Kalian yang sedang membaca kisah ini belum tentu pernah mengalaminya.

"Lulus nanti mau kerja apa?" tanyaku ketika kami berdua mengelilingi alun-alun.

"Kuliah dulu." kata Ratih.

"Padahal ada lowongan bagus."

"Apa?"

"Jadi istriku."

Ratih tertawa dan mencubit pinggangku.

Aku juga ingat Ratih pernah mengeluh. Katanya ia sampai membeli helm baru supaya bisa jalan-jalan naik motor bersamaku, tapi aku malah mengajaknya jalan kaki kemana-mana. Ah, Ratih.

Yang kulitnya putih
Yang tawanya gurih
Itu Ratih
Biar ku kejar sampai letih
Sampai keringat jadi buih

-Saka

***

Hari demi hari terlewati. Susan pulang ke Bandung, hubunganku dengan Budin pun perlahan membaik. Sederhana sekali, kan? Memang. Ku akui Budin adalah tipe orang yang arogan dan emosional, tapi dia tidak pendendam. Dia mudah marah tetapi mudah juga melupakan kemarahannya. Begitulah Budin kawanku.

Bulan Maret sedikit lagi habis. Para murid pun sudah diberi pengumuman bahwa akhir bulan depan ujian kenaikan kelas akan dilaksanakan. Aku tahu disaat seperti ini harusnya belajar yang rajin macam Ibnu. Aku tahu. Tidak perlu diberitahu lagi karena sudah banyak pedagang kaki lima yang berjualan tahu di pasar langganan ibuku. Di warung Tante Diah juga sudah banyak gorengan tahu. Kadang Budin marah-marah karena isinya hanya mie. Tidak ada wortel atau seledri. Kemudian Tante Diah akan mengeluarkan jawaban andalannya, "Sauren disik utangmu. Ojo kakehan omong!" artinya, "Bayar dulu hutangmu. Jangan banyak bicara!"

Intinya jangan kecewa kalau belajar itu bukan hobiku. Kalau kalian tidak suka aku, silahkan suka Ibnu. Atau suka Wahyu, anak IPA yang pintar itu. Ya do'akan saja semoga dia tidak jadi pejabat korup ketika dewasa nanti.

***


Halo! besok (Rabu, 12/04) Saka libur dulu, ya. Katanya mau main catur bareng Kang Amin, hehe. Tapi tenang, lanjut lagi hari Minggu. Salam!

SANG SAKAWhere stories live. Discover now