tujuh

3 1 0
                                    


.

Melia merebahkan dirinya di sandaran kursi kayu. Menguras habis minumannya dari gelas sterofoam besar.

Sebelah kursinya yang kosong, kini ditempati oleh seorang pria yang saat ini -seharusnya menghabiskan jam kerja di kantor- memandangnya sayu dengan karton hotdog di tangannya.

"Kamu terlihat makin cantik,"

Melia menatap horor di sebelahnya yang dibalas dengan seringai di sudut bibir pria tersebut.

Kedua iris cokelat tua dengan pinggiran hitam tersebut, seakan menyihirnya untuk terus terfokus hingga terperangkap di dalamnya.

Sudut bibir tipis tetapi ranum itu terus terangkat naik ketika ia mendengar teriakan histeris dari wahana bajak laut yang tengah beroperasi itu.

Sesekali ia akan ikut tersenyum menatap binar mata kepolosan dari kedua bilik mata tersebut. Melia terlihat bersinar sore ini walaupun matahari hampir tenggelam di ufuk barat.

Berbeda dengannya. Kemeja motif warna cokelat bata yang dikenakannya, tampak kusut dan tatanan rambutnya juga menampakkan hal yang serupa.

"Main itu, yuk?" rengek Melia dengan wajah cemberut.

"Kamu sudah menghabiskan hampir setengah uangku untuk mencoba seluruh permainan disini," bohong.

"Yah, maunya yang itu. Pokoknya harus coba yang itu. Ya, ya?"

Jovian menghela nafas pelan. Ia mengusap wajahnya kasar dan menatap detik demi detik di pergelangan tangannya.

Jovian kembali menatap sosok gadis di sampingnya dengan kening berkerut. Entah kenapa, ia bagitu tertarik dengan gadis ini.

"Berminat untuk makan malam?"

Melia menatapnya aneh, "Sekarang belum jam makan malam,"

Jovian tampak berpikir. Mencari alternatif cara agar ia bisa berbicara dengan Melia. Membicarakan masalah sebenarnya.

"Apa kita benar-benar tidak akan menaiki wahana itu? Ini terakhir kalinya, deh."

"Well, kurasa cukup untuk hari ini. Ayo ikut aku,"

Melia menatap tidak percaya dengan sedikit kesal. Tapi tak urung ia tetap menurut ketika sebelah tangannya terkait erat dengan milik pria tersebut.

Ini adalah pertama kalinya ia memberontak.

"Bisakah kita mulai fokus berbicara, Melia?"

Orang yang disebut menatap manik biru tua di depannya dengan kening berkerut. Tidak terbiasa dengan sikap bossy yang menguar dari diri pria tersebut.

"Aneh. Bicaralah apapun, jovian. Aku akan mendengarkan," ucapnya dengan acuh tanpa melepas sedotan yang menyatu dengan bibirnya.

"Apa ini yang kamu sebut sebagai sikap mendengarkan?"

Melia mengerang dan memutar matanya kesal. Ia begitu benci dengan sikap pria di depannya yang seperti ini.

Ia meletakkan kembali gelas plastik minumannya dengan hentakan keras dan menatap sinis di depannya.

"Sekarang bicaralah," Jovian mengulum senyum tipis membuat Melia kembali memutar matanya.

"Kamu begitu kekanak-kanakan," ucapnya dengan jeda sebentar hingga refleks, Melia langsung menggulung lengannya.

"Tapi itu bukan masalah. Aku suka yang seperti itu,"

Melia menghela nafas pelan, "Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan, Jovian. Jangan bertele-tele,"

SCANDALOnde histórias criam vida. Descubra agora