Prolog

16.2K 1K 39
                                    

“Ran, kenalkan ini Om Ganda, sahabat Papa waktu SMA dulu. Dan ini istrinya, Tante Dinda. Mereka sedang berkunjung ke Jakarta, jadi mampir ke sini.”

Aran yang hendak keluar rumah dengan sahabatnya, Dirga, menghampiri sepasang suami istri yang baru tiba di ruang tamu. “Saya Aran, Om, Tante,” ucap Aran dengan tersenyum.

“Oh, jadi ini putramu yang selalu kamu banggakan itu. Pantas. Selain pintar, tampannya seperti ini.”  Ganda menjabat uluran tangan Aran.

“Biasa saja, Om.”

“Biasa aja gimana. Baru usia 20 tahun sudah lulus S1. Katanya sekarang lagi ambil S2?”

“Iya, Om. Tolong doakan saja semoga lancar.”

“Mau jadi dosen dia. Makanya ngejar ambil S2,” sahut Sigit dengan tersenyum bangga.

“Saya permisi dulu, Om. Ada janji sama teman,” pamit Aran. Jujur saja, dia tidak suka jika papanya mulai membangga-banggakan dirinya. Dia tidak suka jadi pusat perhatian.

“Sama Silvi, Ran?” tanya Sigit ketika putranya itu mencium tangannya.

“Iya, Pa. Sama Dirga juga.”

“Mari, Om, Tante.”

“Iya, Nak, hati-hati,” sahut Ganda. Sedangkan Dinda hanya tersenyum menatap Aran.

Aran berjalan agak jauh menghampiri Dirga yang menunggu di dalam mobil. Di sekitar rumahnya banyak orang yang memarkir mobilnya di pinggir jalan. Membuat Dirga harus parkir agak jauh dari rumahnya.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis kecil sedang memanjat pohon.  Dia segera menghampiri gadis itu.

“Adik, kamu ngapain naik-naik pohon gitu. Awas jatuh!” teriak Aran sambil melihat ke atas pohon.

Si gadis kecil melongok ke bawah. “Mau ambil layangan, Om.”

“APA?! LAYANGAN?” tanya Aran tidak percaya. “Busyet ini anak cewek, mainannya layangan. Eh, dia panggil gue apa tadi? Om?Dia kira gue sudah tua kali, ya!”

“Adik, kamu turun aja. Biar Kakak yang ambilkan,” teriak Aran lagi dengan suara yang lebih kencang. Gadis kecil itu sekarang sedang berdiri di atas dahan, berusaha menggapai layangan yang menyangkut di atasnya. Namun apa daya, tangan kecilnya tidak mampu menjangkau layangan itu.

“Adik, turun. Nanti Kakak ambilkan!” perintah Aran lagi.

“Nggak mau, nanti Om bohong.”
,
“Aduh... anaknya siapa sih, ini. Keras kepala betul. Dari tadi manggil-manggil gue Om lagi. Disuruh turun nggak mau,” omel Aran sambil membuka sepatunya. Dia mulai memanjat pohon itu.

Tidak lama kemudian dia sudah berhasil menyusul gadis kecil itu. Dengan mudah dia berhasil mengambil layangan yang diinginkan si gadis kecil.

Gadis kecil itu memperhatikan setiap gerakan Aran. Dan ketika Aran berhasil mengambil benda yang diinginkannya, tanpa sadar dia terlonjak gembira. “Aaaaa!!”

“Awas jatuh!” Sontak Aran menangkap tubuh mungil itu. Mendekapnya dengan sebelah tangan.

Dengan hati berdebar karena takut  jatuh, gadis kecil itu terus menatap wajah Aran. Sementara Aran fokus menjaga keseimbangan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, dia membantu gadis itu turun.

“Nih layangannya. Hampir saja kamu jatuh.” Aran menyerahkan layangannya setelah sampai di bawah. Lalu dia berjongkok memakai sepatunya. “Kamu anak cewek kok sukanya main layangan? Bukannya teman-temanmu lebih suka main boneka, ya?”

Tidak mendapat respons dari si gadis, Aran mendongak menatap anak itu. Ternyata gadis itu sedang tersenyum memperhatikannya. Menampilkan dua lesung pipi yang mempermanis wajahnya.

“Cantik banget sih, kamu," ucap Aran gemas. Dia tersenyum sembari mengusap rambut si gadis kecil. Lalu dia berjalan ke arah mobil Dirga.

Gadis kecil itu terus memperhatikan Aran yang masuk ke dalam mobil. Tepat sebelum Aran menutup pintu, gadis itu berteriak, “Om, tunggu!”

Gadis itu berlari menghampiri Aran. “Makasih ya, Om ganteng,” ucapnya dengan mata berbinar. Dan tiba-tiba gadis itu mengecup pipi Aran dan berlari menjauh.

***

“Rara... Rara...!”
Lamat-lamat Dira mendengar namanya dipanggil. Dengan memegang benang dari layangan yang baru didapatnya, dia berlari menghampiri rumah orang yang dikunjungi orang tuanya.

“Kamu dari mana sih, Ra?” Ibunya menyambut di teras rumah dengan wajah penuh kekhawatiran. “Kamu ini diajak bertamu kok malah hilang.”

“Tadi Rara lihat layangan nyangkut Bu. Jadi Rara ambil layangan dulu.” Dengan wajah tidak berdosa, Dira menjelaskan ke mana dia pergi tadi.

“Kamu ini. Layangan terus,” omel Dinda sambil menuntun Dira memasuki rumah sahabat suaminya.

“Dari mana dia, Bu?” tanya Ganda ketika Dinda dan Dira memasuki rumah.

“Ini ambil layangan.”

“Ambil di mana?” sela Tamara seraya tersenyum geli. Anak sahabat suaminya ini cantik. Bahkan sangat cantik. Bibirnya tipis, hidung kecil mancung dan wajahnya putih merona, bukan putih pucat. Tetapi mainannya layangan.

“Ambil di atas pohon. Tadi ada Om ganteng yang bantu ambilkan.”

“Om ganteng?” tanya Ganda dengan kening berkerut.

Dira menoleh ke abahnya. “Iya, Bah. Tadi Rara naik pohon, terus Om itu teriak-teriak suruh Rara turun. Rara nggak mau. Terus dia naik.”

Dinda berdecak. “Kamu ini....”

Tanpa memedulikan omelan ibunya, Dira kembali berlari keluar rumah. Dia berdiri di teras dan terus memandangi layangannya dengan senyum mengembang....

DIRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang