Bab 21

11.6K 973 71
                                    

Maaf ya temans, aku menghilang dari dunia perwattpat-an untuk waktu yang lama. Ada beberapa kejadian tidak terduga yang bikin aku syok dan blank...
Semoga aja setelah ini nggak ada lagi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.
Makasih untuk semua pengertiannya... maaf kalau masih belum bisa balas komen2nya...

Kalau ada yang aneh atau nggak sinkron dipart ini, mohon kritiknya... terima kasih

***

Pagi ini keadaan Dira sudah jauh lebih baik dari semalam. Setelah dikuret kemarin sore, Dira hanya bisa sadar sebentar lalu tertidur lagi, sadar sebentar lalu tidur lagi. Begitu seterus hingga malam. Sedangkan Aran hanya bisa menatap khawatir wajah istrinya. Beruntung ada Tamara dan Renata yang ikut menginap, sehingga selalu ada pelukan Mama untuk menguatkannya. Dan tadi selesai salat subuh, Mama dan Renata berpamitan pulang. Mereka harus menyiapkan pakaian dan makanan mereka untuk hari ini.

“Dhie, nanti kalau Mama datang, aku ke kampus sebentar, ya? Ada yang harus kuurus. Sekalian mau minta izin, biar tenang temani kamu di sini,” ucap Aran yang baru selesai merapikan rambut istrinya. Lalu ia membuka bungkusan pembalut dan berniat memasangnya di pakaian dalam milik Dira.

“Dhie...,” panggil Aran lagi setelah tidak ada respons dari Dira yang duduk di pinggir tempat tidur. Ia meletakkan pembalut dan pakaian dalam milik istrinya lalu berdiri di hadapannya. Ditangkupnya lembut kedua pipi Dira. “Kenapa melamun?” tanyanya lembut.

“Hm....” Dira menatap sayu wajah Aran.

“Kena—“ ucapan Aran terhenti karena Dira menyandarkan kepalanya di dada Aran.

Aran menarik napas panjang lalu mengusap lembut kepala Dira. Kausnya basah karena air mata istrinya. Semalam Dira juga menangis, bahkan dalam tidurnya ia masih terisak, membuat hati Aran semakin teriris-iris melihatnya.

Aran menghapus air mata istrinya lalu mengecup keningnya. “Kenapa? Nggak mau kutinggal?” tanyanya lembut.

“Kakak mau pergi?”

Aran tersenyum. Ternyata istrinya benar-benar melamun. “Kamu nggak pa-pa kalau kutinggal sebentar? Tapi nanti, tunggu Mama datang.”

Dira menatap ragu Aran, sesaat kemudian mengangguk dengan berat hati. “Cepat balik,” pintanya lemah, lalu kembali menyandarkan kepala di dada suaminya.

Aran mengusap rambut Dira. Ia juga berat meninggalkan istrinya. “Nanti aku telepon dulu, kalau memang bisa, aku nggak usah pergi.”

“Pergi aja, tapi cepat kembali. Nanti Kakak dipecat lagi.”

Aran tertawa pelan lalu memencet hidung istrinya. Dipecat pun ia tidak peduli, hanya saja sebagai wakil dekan satu, tidak mungkin ia meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja.

“Nggak mungkin cuma gara-gara bolos satu hari aku dipecat.” Dia kembali memeluk dan mengusap rambut istrinya. “Masih mau nangis? Ayo, aku tunggui.”

Dira memukul lengan Aran. Raut wajahnya antara menangis dan tertawa. “Nggak jadi,” ucapnya sambil memajukan bibir.

Aran menyeringai. Ada kilat nakal terpancar di matanya.  “Jangan nyesal ya kalau nanti kamu pengen nangis, aku nggak ada. Kalau masih mau nangis, tunggu aku datang.”

“Ada gitu orang mau nangis bisa diatur? Nggak jelas,” rajuk Dira.

“Bisa dong. Istriku kan cerdas.” Aran melepas pelukannya. “Ya sudah, sekarang kita ganti dulu pembalutmu.” Ia mengambil pembalut dan pakaian dalam Dira yang tadi diletakkannya di samping istrinya.

Kening Dira berkerut. “Kita?” tanyanya bingung. Seketika dia mengulurkan tangan ketika melihat pembalut dan pakaian dalamnya. “Aku pasang sendiri aja.”

DIRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang