Rick memacu motor Yamaha R25 nya memasuki gerbang sekolah. Suara deru motornya terdengar nyaring di sekolah yang masih sepi itu. Setelah memarkir motornya, ia bergegas menuju atap gedung utama sekolah yang berbentuk U itu, satu lantai di atas kelasnya. Ketika sampai di sana, ia melihat Ivandito, Bryan, dan Justin.
Ivandito membuang rokok yang sedetik tadi ia hisap ke bawah kemudian menginjaknya, "Hei Bro, ternyata kamu datang juga, ya. Berarti aku anggap kamu setuju bergabung dengan kita," kata Ivandito, cowok berambut jabrik itu.
Bryan bertepuk tangan sarkastis, "Wah, wah. Anak baru ternyata berubah pikiran, ya. Kukira melihat sikapmu kemarin, kau tak akan datang," kata Bryan.
"Ternyata kau tertarik juga bergabung dengan SSDC," ujar Justin.
"Aku tak ingin basa-basi, kenapa kalian harus membuatku datang ke sini?" tanya Rick.
Ivandito tertawa, ia mendekati Rick dan menepuk pundaknya. "Kami anggota SSDC menyebutnya," Ivandito sengaja diam untuk memperlihatkan ekspresi berpikir hiperbolis, "upacara penyambutan."
Rick tersenyum sinis, ia memandang Ivandito dengan tatapan tajam, "Sambutan? Jadi, kalian ingin menjadikanku sasaran empuk untuk melakukan hal yang bersifat senioritas di sini?"
Ivandito, Justin, dan Bryan tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Rick. "Sudah kuduga, Van. Selera humornya rendah sekali," kata Bryan. Rick memandang mereka dengan tatapan bertanya-tanya.
"Sudahlah, Rick. Sebentar lagi, kita akan bersenang-senang. Lebih baik kita bergerak cepat karena waktu kita nggak banyak," ujar Ivandito sambil tersenyum miring, ia mengangkat sebuah buku tulis di tangannya.
***
Jam tujuh tepat. Bel masuk berbunyi, siswa-siswi yang berada di lorong bergegas memasuki kelas masing-masing.
Begitu masuk ke kelas, May melihat bangku Rick yang masih kosong, "Eh, Riss. Rick kayaknya belum datang, deh." May berbisik kepada Rissa sesaat setelah duduk di bangkunya. Rissa menoleh ke arah bangku Rick.
"Iya juga, ya. Daritadi kita ngobrol di lorong juga nggak kelihatan dia masuk kelas. Mungkin telat," jawab Rissa.
May nampak kecewa, "Mungkin juga dia nggak masuk. Nggak bakal ada cowok ganteng, deh hari ini. Padahal kemarin udah dibela-belain nyalon berjam-jam."
"Duh, May. Jangan mulai lagi, deh. Cowok terus yang diomongin."
"Riss. Prestasi itu penting, tapi kita juga harus cari hiburan, dong. Masa SMA itu nggak bisa diulang lagi. Kalau nanti kita udah lulus, kita pasti rindu momen-momen kayak gini. Apalagi momen ngejar cowok."
"Kalaupun nanti kuliah, bakal ada banyak stok cowok ganteng juga kali, May. Ngejar cowok nggak cuma di SMA."
"Tapi suasananya nggak bakal seseru di SMA. Yakin deh, nanti kalau kita kuliah, waktu buat cuci mata bakalan berkurang atau malah hilang. Kuliah di dunia nyata nggak seindah kuliah di dunia sinetron. Waktu tidur kita juga bakal berkurang karena harus ngerjain tugas yang seabrek."
"Iya deh iya." Rissa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Tiba-tiba, Karis dari bangku belakang menepuk punggung May. "Kayaknya cowok incaranmu nggak masuk deh, May."
"Plis deh, Karis. Daritadi aku sama Rissa juga udah ngomongin."
"Eh, udah tau toh?"
"Nggak usah kamu kasih tahu juga radar antena May lebih peka kalau menyangkut cowok cakep," ujar Veve. Rissa dan Karis tertawa, May hanya bisa manyun. Belum sempat May membela diri, obrolan mereka harus berhenti ketika seorang guru wanita masuk tanda pelajaran jam pertama dimulai. Kelas XII-4 mengikuti pelajaran dengan baik sampai bel istirahat pertama berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fur Elise [END]
Teen FictionHighest rank : 1 #kotakmusik 1 #piano Rissa, siswi kelas 12 Saint Sirius Senior High School menjalani kehidupan sekolahnya dengan sempurna disertai segudang prestasi di dunia piano dan akademik. Namun, ia tak pernah bisa lepas dengan kenangan cinta...