Diego membuka pagar pendek rumah Dibyo yang tidak dikunci dan bergegas masuk. Ia mengamati rumah berlantai dua bergaya Eropa yang cukup mewah itu. Rumah Dibyo dominan dengan cat putih dengan banyak jendela panjang.
Bagus juga seleranya, batin Diego dalam hati.
Diego hanya menekan bel pintu sekali dan tak lama pintu rumah itu dibuka dari dalam. Seorang wanita kurus paruh baya muncul dengan wajah berseri ketika melihat Diego. Rambut wanita itu hampir berwarna putih seluruhnya, keriput di wajahnya semakin jelas terlihat saat ia menyunggingkan senyum.
"Pak Dibyo sudah menunggu Anda."
Alis Diego tertarik ke atas seiring dengan benaknya yang bertanya-tanya. Wanita itu mempersilakan Diego masuk.
"Tunggu di sini sebentar, saya akan memberitahu Pak Dibyo," ujar wanita itu sambil berlalu. Diego melihat sekeliling isi rumah Dibyo, sesuai dugaan Diego bahwa Dibyo mempunyai selera yang bagus. Rumah Dibyo lumayan besar, rapi dan penuh perabotan antik. Tapi ia merasa heran di rumah sebesar itu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada keluarga Dibyo selain wanita tua tadi.
Ia mulai berkeliling, kemudian pandangannya menyapu foto-foto yang dipajang di dinding. Kebanyakan foto-foto kegiatan Dibyo memancing, main golf, dan acara-acara yang dihadirinya. Matanya menyipit ketika ia menemukan foto Dibyo bersama dengan seorang wanita yang duduk di kursi roda dengan tersenyum.
Apa ini istrinya?
"Silakan ikut saya, Pak Dibyo menunggu di ruangannya." Suara wanita tua yang tadi meninggalkannya mengalihkan perhatian Diego. Wanita itu membukakan pintu sebuah ruangan dan dengan sekali lihat, Diego menemukan Dibyo sedang duduk bersandar di belakang meja kerja.
"Aku sudah menunggumu sejak tempo hari. Kukira kau tidak tertarik dengan kata-kataku waktu itu," kata lelaki setengah baya yang brewok itu.
Diego memandangnya dengan tatapan bertanya, "Apa maksud Bapak tempo hari?"
Dibyo tertawa keras hingga membuat tubuhnya berguncang, "Ayolah, Nak. Jangan terlalu serius dan to the point. Mari kita minum teh dulu."
Diego merasa tak nyaman dengan sikap Dibyo. "Bukannya Bapak bilang Bapak sudah menunggu saya datang ke sini? Saya tidak ingin berlama-lama berada di sini."
Dibyo berdecak, dilihatnya Diego yang menatapnya serius. "Kau tahu? Keangkuhanmu dan sikap tak sopanmu itu mengingatkanku pada seorang yang kukenal." Dibyo bangkit dan menuju sofa yang tak jauh darinya, menuangkan teh ke dalam gelas kemudian menenggaknya. Diego tetap pada posisinya, namun, matanya mengekori Dibyo.
"Kau benar-benar mirip dengannya, bahkan aku sempat berpikir bahwa tatapan tajammu itu juga mengingatkanku padanya."
Diego semakin heran dengan sikap Pak Dibyo, "Maaf, Pak kalau saya tidak sopan. Pastinya Bapak sangat sibuk. Saya tidak ingin membuang waktu Bapak."
Dibyo tersenyum kecut, "Baiklah. Tapi pertama-tama, duduklah di sana dan mari kita mengobrol." Dibyo menunjuk sofa di hadapannya. Diego menurut.
"Teh?" Dibyo mengangkat gelasnya, Diego menggeleng pelan. Dibyo menyeringai, "Sudah penasaran dengan hadiah yang kusiapkan, heh?" tanyanya. Diego semakin tak nyaman dengan sikap dan cara Dibyo menatapnya, seakan mendapati tikus yang masuk ke dalam perangkap.
"Sebelum itu, aku akan menanyakan satu hal padamu. Apa kau merasa mempunyai kesalahan hingga aku memanggilmu ke sini?"
"Ya. Saya sudah masuk ruangan Bapak tanpa izin."
"Hanya itu?"
Diego semakin heran, "Setahu saya... ya," katanya sedikit ragu, ia memikirkan kesalahan apa lagi yang diperbuatnya, tapi ia tak menemukannya.
YOU ARE READING
Fur Elise [END]
Teen FictionHighest rank : 1 #kotakmusik 1 #piano Rissa, siswi kelas 12 Saint Sirius Senior High School menjalani kehidupan sekolahnya dengan sempurna disertai segudang prestasi di dunia piano dan akademik. Namun, ia tak pernah bisa lepas dengan kenangan cinta...