BAB 16: Tubuh Senilai 75 Juta

7.2K 190 17
                                    

Ben.... Dia telah kembali, Rasa takut dalam sekejap kembali menyelimuti Angela.

"Apa Bapak mau mengantar saya ke rumah ibu saya sekarang? Dia dalam bahaya. Saya mohon." Getaran dalam suaranya menjelaskan kalau Angela masih ketakutan akibat mimpi buruk yang dialaminya barusan.

Astaga! Ada apa lagi sekarang? gerutu Chandra dalam hati.

Entah mengapa, akhir-akhir ini Chandra selalu merasa kalau takdir seolah mulai senang mempermainkannya...

@@@

Angela langsung menutup pintu mobil dan berlari melewati kerumunan orang yang berkumpul di depan rumah. Dalam hati, dia hanya bisa berharap semoga yang terjadi tidak seburuk apa yang ada dalam bayangannya.

Terlambat!

Mendadak, kaki Angela seolah lumer. Dia bahkan hampir jatuh, saat melihat banyak memar pada tubuh Ibunya yang terkapar tidak sadarkan diri di lantai. Dengan mata berkaca-kaca, Angela langsung berjalan mendekat lalu mendekap Ibunya.

"Seharusnya aku enggak pernah kabur. Seharusnya aku enggak ninggalin Ibu waktu itu. Seharusnya aku...."Angela terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Dia hampir saja menangis.

Ya, semua kini yang tersisa hanyalah kata 'seharusnya...'.

Chandra yang baru saja tiba di ambang pintu, juga terkejut saat melihat Angela sedang memeluk seorang wanita tua yang pingsan dan penuh luka memar. Dengan langkah tergesa, dia berjalan mendekat dan segera menggotong wanita tua itu untuk di bawa ke rumah sakit.

"Ngel...," Angela menoleh ke asal suara, saat pundaknya ditepuk dari belakang, "...tadi aku enggak sengaja ngeliat Rudy keluar dari rumah kalian."

DUAR! Pengakuan orang tersebut, sukses membuat emosi Angela makin tersulut. Di detik itu juga, Angela telah membuat sumpah, kalau kelak, dia akan menghabisi nyawa Rudy dengan tangannya sendiri.

@@@

Angela mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada lagi rasa percaya diri, antusias, dan keceriaan yang pagi ini dia rasakan. Melainkan hanya ada sendu, cemas, sekaligus marah.

"Semua akan baik-baik saja. Ibu mu akan selamat," Chandra berusaha menenangkan Angela.

Angela hanya mengangguk lemah lalu kembali menunduk. Dadanya kembang-kempis dengan mata yang memerah.

"Kamu yakin tidak ingin melaporkan kasus ini ke polisi?" Pertanyaan yang sama, yang entah sudah berapa kali Chandra ajukan. Namun lagi-lagi, Angela hanya menganggukan kepalanya.

Chandra lagi-lagi mengernyitkan kening karena bingung dengan sikap Angela. Sekuat tenaganya, dia manahan keinginannya untuk bertanya: Kenapa? Apa yang telah terjadi sebenarnya? Siapa pelakunya?

Chandra menghela napas sejenak. "Baiklah, kalau itu memang keputusanmu. Saya tidak ingin ikut campur...," Chandra menjeda ucapannya sejenak. Dia terlihat berpikir sebelum akhirnya berucap, "Kalau ada perkembangan, kamu bisa temui saya di ruang VVIP 1. Saya ingin menjenguk Oppa saya dulu."

Angela menghela napas agak panjang saat melihat punggung Chandra yang semakin jauh. Dia merutuki ketololannya yang berharap kalau Chandra akan menaruh perhatian lebih dan bertanya banyak hal kepadanya. Karena nyatanya, pria itu kini justru meninggalkannya sendirian di bangku tunggu. What a pity!

"Bukan saatnya untuk memikirkannya, Angela. Wake up!" tegas Angela pada dirinya.

Ya, ini memang bukan saat yang tepat untuk bergalau ria karena sikap dingin Chandra. Namun yang Angela tidak tahu, adalah kalau Chandra bukannya tidak peduli, melainkan karena dia tahu batasan sampai dimana dia bisa ikut campur ke dalam urusan pribadi orang lain. Itu semua karena dia tidak ingin membebani Angela dengan berbagai pertanyaan yang justru membuat Angela tidak nyaman dan merasa terganggu.

Deal With CEOWhere stories live. Discover now