- 02

8.9K 1.8K 74
                                    

Aroma khas rumah sakit sepertinya begitu menusuk hidung ini. Beberapa orang berlalu-lalang, seperti memiliki kesibukan dan tidak sepertiku. Ah, ya. Dua atau tiga kali seminggu, kakak akan membawaku ke tempat ini.

Dia tak pernah memberitahuku tentang diagnosa, dan untuk apa diriku berobat. Alasan klasiknya adalah, ia tak mau aku terbenani dengan pikiran itu.

"Jungreum?"

Aku berbalik, melihat orang yang baru saja memanggil namaku. "Yuta."

Nakamoto Yuta, teman lelaki karibku di rumah sakit ini. Pada tiap pertemuan, kami berdua akan mengobrol mengenai hal apa saja. Mengingat aku dan Yuta adalah pasien yang sedang mendapatkan perawatan di tempat yang sama.

"Kau sendirian, Jung?"

"Ah, tentu tidak." Kutepuk kursi kosong di sampingku untuk mengajak Yuta untuk duduk. "Bagaimana denganmu?"

"Aku datang bersama Ibu."

"Oh."

Begitu seterusnya kami mengobrol hingga salah satu dari kami akan dipanggil sanak keluarga. Sesekali pun aku bercerita tentang Lee Taeyong, temanku yang muncul hanya pada saat aku sedang beristirahat.

Jujur saja, aku tak tahu apa yang membuat Yuta dirawat di rumah sakit. pula sebaliknya. Masing-masing dari kami membicarakan banyak hal, namun tidak dengan yang ini. Bahkan untuk menyinggung perihal diagnosa kami, itu tak pernah terjadi.

"Jungreum, aku pulang lebih dulu, ya. Lihat, ibuku sudah memanggil." Pamit Yuta seraya berdiri. "Sampai ketemu nanti, jaga dirimu baik-baik."

"Kau juga, Yuta."

Kulambaikan tangan ini hingga Yuta menghilang dari balik dinding koridor. Seperginya lelaki Nakamoto itu, aku lantas berniat kembali menuju ruangan yang masih dihuni oleh Kak Yunoh dan Dokter Moon.

Saat membuka pintu, kudapati kakak berbalik dengan wajahnya muram. Seperti ada sesuatu yang terjadi buruk padanya.

"Kak." Panggilku pelan. "Ada apa?"

Kak Yunoh lantas menyodorkan sebotol kecil berisi kapsul. Ini tak seperti yang ada di rumah, apa aku harus meminum obat yang baru?

"Kau perlu ini." Katanya.

Sedih? Tidak juga. Marah? Kecewa? Bingung? Cemas? Bagaimana itu semua bisa dijadikan dalam satu kata?

"Kau perlu ini, agar semuanya tidak memburuk."


***


"Taeyong."

"Ya."

"Rasanya aku semakin bingung."

"Ada apa?" Lelaki itu menoleh, dengan satu tangannya yang membantu menyelipkan sebagian anak rambutku ke belakang telinga. "Masalah penyakitmu, bukan?"

Aku mengangguk.

"Memangnya jika kau berada di rumah sakit, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku diminta masuk ke dalam ruangan Dokter Moon. Lalu aku akan berbaring di atas sebuah ranjang. Setelah itu, dokter akan memberikan bius dan—"

"..."

"Saat tersadar, aku hanya bisa diam, duduk atau keluar dari ruangan untuk menunggu obatnya."

Dahi Taeyong mengernyit. "Kau tak diberi penjelasan apapun?"

"Ya. Hanya Kak Yunoh yang tahu itu."

Kurasakan telapak tangan Taeyong menepuk punggungku dengan lembut, memberi kehangatan beberapa masukan penenang. "Aku yakin, itu semua demi kebaikan dan kesehatanmu. Kau akan baik-baik saja, Reum."

Aku harap, aku akan selalu begitu.

"Pulang, ya? Ini sudah larut malam." Pinta Taeyong kemudian membantuku untuk bangkit dari hamparan rerumputan hijau ini. "Aku antar."

Aku mengangguk setuju, lantas berjalan bersama Lee Taeyong. Walau jarak antara taman dan rumahku tak begitu jauh, namun Taeyong tidak akan pernah mau membiarkanku berjalan sendirian.

Apalagi jika bulan sudah bersinar, setengah dari kehidupan akan membuat cemas.

Meski begitu, aku sangat bersyukur dengan kehadiran Taeyong, aku tak pernah lagi merasakan monoton atau sebatas hitam putih dalam lingkungan tempatku pulang. Hari-hariku sama, namun dengan adanya Taeyong, semuanya terasa nyaman.

Setibanya di depan pekarangan rumah, aku meraih berjinjit untuk meraih rambut Taeyong dan merapikannya. "Kau juga pulang ya?"

Taeyong tersenyum.

"Bye!"

Taeyong melambaikan tangannya. "Selamat tinggal, Jungreum."

Aku mengangguk dan melangkah memasuki rumah. Kupijakkan kaki melalui rerumputan yang kembali menghijau dan berdesir dengan sendirinya. Namun, belum sampai membuka pintu rumah aku tersadar akan satu hal.

Jungreum?

Dia memanggil namaku sama dengan yang biasanya Yuta ucapkan.

Entah mengapa, kakiku kembali melangkah keluar, berniat untuk menemui Taeyong lagi. Namun, dia sudah hilang.

"Secepat itu kah?"

Kuhela nafas, tak tahu mengapa diriku kecewa, kemudian berjalan gontai memasuki kediaman ini.

Prang!

"Aku sudah bilang sejak lama! Jangan terlalu sering mengabaikan Ahreum!"

"Lalu?! Kau sebagai ayahnya kemana saja?! Kau kira aku tak pernah bersamanya?!"

"Kau bahkan tak ingin membesarkannya, bukan?"

"Tutup mulutmu!"

"Sialan!"

Mereka,

mereka kembali melakukan pertengkaran itu. Tidak. Sebenarnya mereka tak sepenuhnya salah. Karna yang mengabaikan aku dan kakak yang selalu menunggu adalah keduanya. Bukan hanya salah satunya.

Aku bahkan nyaris tak mengenali siapa diriku, mengapa aku bisa menjadi darah daging mereka. Ayah dan ibu, selalu saja pergi. Tetapi saat mereka kembali pulang, mereka akan terus beradu mulut.

Kuarahkan kakiku berlari menaiki semua anak tangga. Belum sampai kuraih gagang pintu kamar, kurasakan kakiku melemah.

Aku terjatuh, dan menangis.

Menyedihkan. Ini lebih dari menyedihkan.

Aku terus-menerus terisak meski suaraku terkalahkan oleh keributan Ayah dan Ibu. Aku benci diriku, aku benci hidupku, aku benci segalanya yang ada pada diriku.

Aku bahkan seperti tersesat di dalam diri sendiri. Kebingungan tanpa arah bersama kehampaan.

Hingga ketika aku merasa seseorang meraih tubuhku. Dia berusaha menyalurkan semua kehangatan dan kekuatannya untuk melindungiku. Lelaki yang sudah berjuang untuk menyembuhkan penyakitku.

"Maaf, kakak terlambat."

Kakak menenangkanku dengan jemarinya. Bahkan suaranya kian berat dan bergetar.

"Kau tak sendiri, kakak selalu di sini bersamamu."

MOONLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang