- 03

7K 1.6K 132
                                    

Mataku perlahan menerima banyak cahaya yang berasal dari lampu sudut kamarku. Nafasku terhela berat, mengingat aku tak tahu apa yang terjadi setelah kakak menghampiriku.

Aku bangkit, melepas selimut yang melilit tubuhku, lalu berjalan keluar dari kamar yang sunyi. Dan, hal pertama yang mampu kurasakan adalah—sama. Bahkan ketika pintu membawa hawanya, rumah ini lebih sunyi dibanding ruang milikku.

Kutengok jam dinding yang masih saja berteriak mendeting. Ah, rupanya sudah jam delapan pagi. Aku lalu terusik akibat perut yang berteriak kelaparan ini, mengingat semalam aku memang tidak menyentuh makanan sedikit pun.

"Lebih baik makan roti selai saja."

Ya, pagi ini aku harus melakukannya sendiri. Kak Yunoh pergi untuk melakukan tugasnya, sementara aku harus bergulat dengan roti selai kacang yang kubuat.

Ketika tanganku hendak melempar kemasan roti ke dalam tempat sampah, secara tak sengaja aku melihat pecahan kaca di dalam sana. Tak mampu kubayangkan bagaimana kakak harus membersihkan benda membahayakan jika orangtua kami sedang bertengkar

Aku mendengkus, akhirnya melempar kemasan roti tadi sambil melahap sarapanku secara kasar.

"Uhuk uhuk!"

Tenggorokanku begitu perih, aku berusaha meraih sesuatu ketika mataku terpejam karena menahannya.

"Uhuk!"

Puk puk.

"Jika kau sedang makan, kau harus menelan dengan pelan."

Reflek kedua mataku terbuka dan menemukan kehadiran Taeyong tepat di hadapanku. Ia menyodorkan segelas air putih, memberi cara agar sisa perih di tenggorokan ini mereda. Aku yang tahu maksudnya lantas meraih gelas itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku setelah selesai meneguk. "Kenapa kau bisa masuk ke dalam rumahku?"

"Hei, memangnya apa yang tidak bisa aku lakukan untukmu?"

"Kau—" kebingunganku membawa arah kepala yang sedikit miring. "Apa kau sengaja menyelinap masuk?"

"Aku tahu kau sendiri, karena kakakmu sedang kerja. Dan—"

Aku diam, menunggu jeda yang Taeyong lakukan itu berakhir.

"Aku tahu orangtuamu bertengkar lagi."

Pandanganku beralih menuju jendela dapur, tak ingin orang lain membahas kekacauan keluarga ini. "Apa kau sudah makan?" Ucapku berusaha mengalihkan obrolan.

"Ya." Taeyong tersenyum tipis. "Ahreum, kau mau bermain di belakang sana? Itu terlihat indah!"

Belakang yang Taeyong maksud adalah tanah kecil yang terletak di belakang rumah. Mungkin tak banyak tanaman yang tumbuh di sana, namun itu cukup rindang untuk dipijak walau hanya sekedar mengobrol.

Setelah kuangguki permintaan Taeyong, aku berjalan memimpin lalu membuka pintu belakang yang selalu dikunci oleh Kak Yunoh karena alasan keamanan.

"Wah, kenapa aku baru tahu jika ada taman di rumahmu?" Tanya Taeyong.

Diriku terkekeh. "Taman macam apa? Di sini hanya ada rumput dan pohon. Lalu, memangnya kau harus tahu semuanya?"

"Itu sudah tentu, Jung." Taeyong mendudukkan dirinya di bawah pohon lebat. "Kau pun tahu banyakkan tentang diriku, bukan?"

Aku mengendikkan bahu.

"Tanggal lahirku, sudah tentu kau ingat."

"Satu Juli."

Taeyong tersenyum, "padahal aku tak pernah memberi tahumu."

Lengkungan tipis yang baruku buat seketika juga memudar. Apa memang Taeyong tak pernah memberitahuku? Lagipula dari 365 tanggal yang diakui dunia, aku rasa memang itulah tanggal lahirnya.

"Ya, tidak usah membuatku bingung. Kau selalu saja membuatku seperti orang bodoh."

Kemudian untuk selanjutnya, kami pun berbicara tentang hal-hal kecil seperti biasanya. Aku tak tahu sejak kapan ceritaku seperti orang yang akan pulang menuju Taeyong. Aku rasa, lelaki Lee ini merupakan orang yang sangat tepat kujadikan sebagai tempat curahan hari-hariku. Responnya bahkan akan selalu antusias dan membuatku nyaman.

Brum brum!

Kudengar suara yang bersumber dari depan rumah, sepertinya Kak Yunoh sudah pulang. "Taeyong, aku ke dalam dulu ya. Aku mau melihat kakakku."

Taeyong mengangguk.

Aku melangkah ke dalam rumah, hendak menyambut Kak Yunoh. Namun begitu ingin membuka pintu rumah, gagangnya seperti aneh. Ini—terkunci.

"Huh?"

Aku mencoba untuk membuka ulang, dan sama saja. Itu tak bisa. Hingga akhirnya aku menunggu Kak Yunoh yang membuka pintunya dari luar.

Klik!

Kreet...

"Eh, Ahreum?" Ucap Kak Yunoh membuka sepatunya. "Ada apa?"

"Hm,tidak apa-apa. Hanya saja—apa kakak mengunci pintunya dari luar?"

Kakak mengangguk sambil meletakkan sepatu. "Tentu. Tadi kau masih tidur dan kakak cemas jika saja pintunya tidak terkunci. Ada apa?"

Kutelan saliva secara paksa, memikirkan hal yang mulai menghantui kepalaku.

"Oh iya, kakak bawakan pangsit kesukaanmu."

Perkataan kakak mengenai pintu masih membuatku terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Jika Kak Yunoh mengunci pintunya dari luar, lalu darimana Taeyong bisa masuk lewat? Sangat jelas jika pintu belakang juga terkunci dari dalam.

"Ahreum." Panggil Kak Yunoh dari arah dapur. "Kenapa pintu belakang terbuka?"

Aku pun menyusul kakak untuk meluruskan kebingungan ini. "Itu, temanku ada di belakang."

"Tidak ada orang." Balas Kak Yunoh begitu aku sudah berada tepat dihadapanya.

Kakiku reflek melangkah melangkah menuju belakang, hendak melihat apa memang benar Taeyong tak ada. Bukannya tadi dia menemaniku dari dalam rumah sampai akhirnya kita bercerita banyak hal di sana?

Namun kakak memang benar. Tak ada kata yang dapat kuungkapkan begitu tiba di belakang. Taeyong sudah tak ada di sana.

MOONLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang