1

124K 8.3K 68
                                    

Bekerja di sebuah perusahaan besar adalah impian banyak orang. Mendapatkan gaji yang cukup besar dan fasilitas yang sangat memudahkan pekerjaan, beruntunglah, seorang perempuan bernama Raina yang telah bekerja di perusahaan seperti itu selama dua tahun meskipun hanya bekerja di kantor cabang dari sebuah perusahaan swasta besar. Raina bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di usia dua puluhan setelah lulus diploma dengan nilai yang baik.

Siang hari ini Raina masih disibukkan dengan pekerjaan kantornya oleh sang atasan yang baru saja menambah beban kerja Raina menjadi dua kali lipat. Mbak Hani—atasan Raina—mendadak izin sebab anaknya harus segera dibawa ke rumah sakit dan tidak akan kembali ke kantor sampai sore nanti. Raina mau tak mau harus mengambil alih pekerjaan mbak Hani dan terpaksa jam makan siang kali ini digantikan dengan menyelesaikan proposal kantornya yang harus dikirim jam tiga nanti ke kantor pusat.

Hari ini libur makan siang, deh. Ucap Raina dalam hati.

Jemarinya sibuk mengetik dan matanya tidak beralih sedetikpun dari layar komputer di depannya. Membuat proposal kantor bisa memakan waktu dua jam lebih. Belum lagi dia harus merevisi kembali untuk meminimalisir adanya kesalahan dalam pengetikan yang mungkin akan memakan waktu lebih. Sebenarnya, Raina ingin protes sebab selalu dirinya yang menjadi sasaran empuk untuk selalu menyelesaikan sisa kerjaan atasannya mbak Hani sebagai bawahan perempuan paruh baya itu namun Raina tidak bisa. Dia hanya tersenyum dan membiarkan berkas atasannya bertumpuk di atas mejanya.

Di samping kubikelnya, Alaska, teman satu divisi Raina memanggil.

"Ra, gak mau ikut gabung makan siang sama kita-kita?" Tanya Alaska memperhatikan jam yang ada di pergelangan tangan kanan, lalu melirik Raina dengan kerutan di kening, menunggu.

"Duluan aja-eh!" Raina memutar kursinya menghadap Alaska. "Aku nitip mie mang Tejo di depan ya! Gak pedes, tapi."

Alaska bersiap untuk pergi, "Oke! Mana duit lu?" Tangannya ia julurkan ke Raina. Meminta uang sebab jujur saja lelaki itu hanya membawa uang pas-asan hanya untuk makan dirinya sendiri.

Raina berdecak sebentar, tanpa mengalihkan perhatiannya yang kembali pada layar komputer, menjawab "Pake duit kamu dulu, deh. Ntar aku ganti."

"Tolong ngertiin kondisi keuangan saya, buk. Lagi miskin." Senyum Alaska meledek.

Raina dengan malas memberikan dua lembar uang sepuluh ribu padanya. lelaki itu pergi bersama teman-teman yang lain kemudian melambaikan tangan pada Raina. Ia sengaja membuat perempuan itu kesal.

Alaska memiliki sikap yang menyebalkan namun juga terkadang menghibur Raina. lelaki itu satu-satunya sohib kantor yang dekat dengan Raina. Sifatnya supel dan suka membawa gelak tawa saat sedang berbicara. Bisa dibilang Alaska pembawa energi positif untuk semua orang di kantor mereka.

Jam satu siang, Raina masih sibuk mengetik dan pekerjaannya baru saja selesai setengah. Ia mengeluh dan menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. Menyelipkan rambut nakal yang menganggu penglihatannya ke belakang telinga. Melanjutkan pekerjaan, Raina kembali fokus meskipun perutnya sedari tadi meminta diisi. Perutnya yang keroncongan memaksa Raina berhenti sejenak dan meraih handphone yang ada di atas meja untuk menghubungi Alaska agar secepat mungkin kembali dan membawa makan siangnya sekarang juga.

Setelah menekan panggilan pada Alaska, Raina menempelkan benda pipih itu ke telinga kirinya dan menunggu jawaban dari seberang. Tak sampai sepuluh detik, suara Alaska terdengar samar bersama bunyi kendaraan berlalu-lalang. "Halo?"

"Al, kamu udah beres makan, belum? Aku udah laper nih!" Raina memegang perutnya yang dibalut blazer hitam setelan kerjanya. Ia memasang wajah cemberut agar Alaska tahu betapa inginnya ia menyantap makan siang sekarang juga meskipun pastinya orang di seberang sana tidak akan tahu ekspresinya itu.

Unexpected Be MomWhere stories live. Discover now