CERITA 18: Tak Sesederhana Itu

2.4K 146 0
                                    

Aku sudah menghabiskan dua bulan liburan untuk magang di kantor Alatas. Jatah libur ramadan yang harusnya pekan depan diberikannya sepekan lebih awal.

"Kamu nggak harus ke kantor, kok, Lan, tolong bilangin ke Alma juga ya? Yang penting ada koneksi, kerjain aja secara mobile. Nanti tagihan internet kamu, aku yang ganti. Jangan sungkan bilang ya? Oh, besok aku ada rapat dengan semua wartawan. Tapi kamu nggak harus datang, Lan. Cuma pengumuman jam operasi dan aku harus katakan yang sebenarnya keadaan Kabar," jelas Alatas pekan lalu. Ketika aku pamit izin pulang kampung ke Jogja.

"Terus, Kabar gimana?"

Alatas menatapku sedih. Ia menjeda agak lama. Menularkan rasa sendu padaku. Walau baru bekerja dua bulan di sini, rasanya aku tak rela jika Kabar terancam bubar.

"Masih kuusahakan cari investor, Lan. Fadhil kuminta untuk stay di Kabar. Dia sudah mengetahui sedikit persoalannya lewat Naufal. Dan wartawan yang lain, harus berat hati kulepas, Lan. Kabar nggak mampu mempertahankan semuanya." Alatas menutup ceritanya. Tersenyum pahit dengan pandangan jauh menembus jendela.

Percakapan itu membayang di dalam kepalaku. Semua beban Kabar adalah semua beban Alatas. Laki-laki itu memang menyebalkan untuk beberapa hal. Tetapi mengenalnya sejauh ini membuatku tahu dia orang yang serius dan fokus pada apa yang ingin ia wujudkan. Kabar adalah prototipe impiannya saat muda. Walau berjalan tersendat-sendat aku bisa paham jika laki-laki itu sangat mencintai apa yang ia usahakan dari nol.

Tak pernah ada yang tahu jika semua akan seperti ini sebelumnya. Yang telah terjadi, bukankah menjelma menjadi takdir Tuhan? Termasuk pertemuanku dengan Alatas sejak awal.

***

Semester tujuh berjalan tanpa mendengar bagaimana dengan Kabarmalang. Semenjak liburan terakhir kemarin, Alatas tidak pernah sama sekali menghubungi secara langsung. Aku tahu kabarnya di sosial media. Selama Ramadan aku hanya tahu, dia beberapa kali ikut buka bersama dengan teman-temannya, reuni entah berapa angkatan, dan obrolannya di twitter dengan beberapa teman perempuan, atau salah satunya adalah kekasihnya, aku tak mau tahu.

Alatas tak pernah bicara tentang kabarmalang di dunia maya. Tetapi, sepekan setelah aku pulang, aku mengetahui pengumuman terbuka jika Pak Wawan dikeluarkan dari struktural. Di grup obrolan BBM pun laki-laki itu mengalami nasib yang sama. Setelahnya, Alatas tidak menjelaskan apa pun.

Sedangkan semua wartawan juga keluar dengan sendirinya. Hanya Fadhil yang masih mengirim sesekali dalam sepekan. Aku berkesimpulan, Alatas meminta bantuan Fadhil sebagai teman. Aku baru tahu mereka berteman waktu SMP saat melihat foto reuni yang diunggah Alatas.

Aku masih bertugas mengunggah berita sesuai instruksi Alatas tanpa harus datang ke kantor. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan untuk Kabar. Bahkan aku kembali menjadi mahasiswa normal yang hanya bertugas datang ke kampus. Mengerjakan laporan magang dan mengajukan judul skripsi. Dan, sesekali datang ke majelis taklim. Sesuatu yang telah lama kutinggalkan semenjak aku sibuk magang di Kabarmalang. Aku baru menyadarinya saat Lya menanyakan kajian bulanan yang telah langganan kami datangi.

"Dua bulan lalu absen terus, Lan?"

"Eh, Ly. Iya, kan sibuk magang, hehehe."

Lya menatap penuh selidik. "Kamu masih terus kerja di sana, Lan?"

Jika Lya yang bertanya, tentu aku tahu maksud dari kerja di sana adalah tetap bekerja dengan Alatas.

"Cuma freelance, Ly. Aku sudah nggak wajib datang ke kantor."

Lya memutar bola matanya. Bibirnya agak manyun tanda dia sedang kesal pada sesuatu. Atau seseorang?

"Kamu, ya, Lan! Dibilangi jangan deket-deket Mas Rafan juga. Sekarang, lihat, kan? Temenmu masih magang juga di sana?" Lya bersungut-sungut.

Cerita KopiWhere stories live. Discover now