Bab 20

484 67 10
                                    

Kanika

INI kedua kalinya gue lihat Ranu terlihat gusar, seperti sedang dihantui sesuatu. Pertama kalinya adalah waktu gue minta putus. Netranya bergerak gelisah. Satu waktu dia memaksakan senyuman, di waktu yang lain dia terlihat kebingungan dan menatap kosong. Gue benci Ranu yang seperti itu. Ranu yang nggak bisa meyakini dirinya sendiri, Ranu yang panik dan Ranu yang gegabah. Kalau dulu gue pengin banget teriak-teriak di depannya, bilang kalau dia kadang harus merelakan harga dirinya dan menjadi egois. Sesekali nggak apa-apa, sesekali menjadi brengsek dan memarahi gue juga boleh. Tapi Ranu bukan tipikal cowok yang bisa membaca kode dengan benar. Gue sengaja menghindar dan menjauh supaya dikejar, supaya dia tahu kalau keberadaan gue bener-bener penting buat dia. Nyatanya, Ranu justru dengan segampang itu mengiakan permintaan putus gue.

Gue tahu gue jahat.

Tapi gue butuh kepastian. Gue butuh merasa aman. Siapa sih yang mau pacaran sama orang yang cuma bisa bikin kita ngerasa kurang dan terus bertanya-tanya, apa gue ini punya salah, apa gue bikin dia bosen, kenapa dia nggak cemburu, apa dia beneran sayang gue, apa gue nggak bisa bikin hatinya berdebar-debar, apa cuma gue yang peduli sama dia, apa hubungan ini sungguh dua arah dan bukan bertepuk sebelah tangan. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui gue selama gue bareng Ranu.

Cara gue memang ekstrem, gue tahu nggak semua dari kalian bakal paham kenapa gue pakai cara yang menyakiti perasaan Ranu. Gue juga nggak pengin bikin Ranu sedih, sebenernya. Tapi gue ngerasa nggak punya jalan lain. Ranu bukan cowok yang bakal marah karena hal-hal trivial, jadi trik sederhana bikin Ranu marah supaya gue tahu isi hatinya juga nggak bakal berhasil.

Berapa kali gue sengaja nyuruh temen cowok dari klub lari supaya ngajak gue jalan atau sekedar nganterin pulang di depan Ranu? Mereka semua awalnya nolak karena takut kena tonjok Ranu. Tapi hasilnya? Nihil.

Gue tercengang sama cara pikir Ranu. Dia dewasa, dia nggak mempermasalahkan hal kecil, nggak mau bahas yang nggak prinsipal; nggak perlu dibawa ke sebuah argumen atau bahkan pertengkaran. Ranu selalu bilang, "Ya udah nggak apa-apa, kamu juga kan punya temen banyak. Nggak harus setiap hari pulang bareng aku." Gue frustasi denger pemaklumannya. Ranu terlampau dewasa menilai sesuatu, terlampau pengertian. Gue rasanya kayak diumbar dan nggak dipeduliin.

Gue kadang mikir, apa dia kayak gitu karena dia anak tunggal. Dia terbiasa dihujani kasih sayang utuh dari orang tuanya sampai-sampai dia nggak ngerti gimana rasanya craving for attention. Tapi semakin gue pikir, semakin gue gila. Orang boleh mikir gue ngedeketin Ranu karena dia atlet yang potensinya besar, atau karena Ranu selalu dielu-elukan setiap festival olah raga atau olimpiade, atau kegiatan serupa. Orang boleh nuduh gue macarin Ranu demi narik perhatian, atau supaya gue jadi bahan pembicaraan. Gue tahu Ranu bukan cowok yang segampang itu nempel sama cewek, nggak pernah juga ada rumor atau desas desus Ranu sama cewek. Gue emang bangga jadi pacar pertama Ranu, tapi itu bukan alasan gue kenapa gue suka sama dia.

Ranu itu orangnya baik dan selalu ngeduluin urusan orang lain dari pada urusannya sendiri. Ranu nggak pernah ngomong kasar, nggak pernah juga cari muka atau bermulut manis tapi pahit di belakang. Ranu yang seperti itu yang bikin gue jatuh hati.

Gue memang salah.

Gue manfaatin omongan Arka demi cari tahu soal perasaan Ranu ke gue. Gue jahat dan gue tahu. Tapi kekecewaan gue numpuk semakin tinggi dan gue nggak bisa ngapa-ngapain selain marah dengan cara gue.

Ketika Ranu balik dari luar, entah dari mana gue nggak ngerti, gue pura-pura merem dan Ranu masuk ke kamar inap gue. Awalnya supaya gue bisa ngelihat wajah Ranu yang lagi cemas, karena gue nggak juga pulih padahal biasanya cuma butuh nginep semalam aja. Tapi gue justru dibuat sebel setengah mati.

Gerak-gerik Ranu.

Dari tadi wajahnya tegang. Rahangnya mengeras dan pembuluh darah di pelipisnya menebal—tanda bahwa ia sedang menahan emosi atau sedang menahan malu. Ranu nggak dalam posisi sedang malu. Itu artinya dia sedang emosi. Tapi bukan kemarahan yang terpancar dari wajahnya.

Ranu bangkit dari kursinya, lalu meninggalkan ruangan setelah memastikan bahwa charger mengisi baterai HP-nya dengan optimal. Gue bangkit dan mengambil HP Ranu.

Yang gue lihat adalah layar perpesanan yang belum sempat terkirim dan isinya bikin jantung gue nggak karuan.

To: Nada
Text: Gue tahu gue nggak harusnya ngomong ini, tapi kalo lo bener jadian sama Kanza, gue cuma bisa bilang congrats. Semoga kalian langgeng. Gue tau lo bisa dapet cowok yang baik karena lo juga cewek yang baik.

Gue cuma bisa ketawa getir. Ranu? Seorang Ranu ragu dengan pesan macam apa yang harus dia kirim ke seorang cewek sampai dia keliatan gusar seperti anak kecil yang tersesat di mall dan nggak tahu harus nyari mamanya di mana? Ranu bukan orang yang begitu. Dia selalu yakin dengan apa yang dia bicarakan, apa yang dia ketahui, dan apa yang dia pikirkan.

Siapa Nada?

Lalu gue jadi inget SMS Ranu kapan hari yang bilang bahwa waktu adalah dua mata belati yang bikin kita jatuh cinta; yang bikin kita melupakan. Gue pikir SMS itu adalah SMS sarkas yang dia tujukan ke gue karena gue yang tiba-tiba jatuh cinta ke Hexa setelah kami resmi putus.

Please, jangan bilang SMS Ranu waktu itu tentang dirinya sendiri dan cewek bernama Nada ini. Please, jangan.

Gue tahu gue jahat karena sampai detik ini pun gue masih pegangan pada Ranu, padahal dulu gue yang mati-matian pengin lepas dari dia. Tapi gue nggak tahu harus pegangan sama siapa. Hexa udah nggak ada. Hexa udah ninggalin gue dan satu-satunya orang yang bisa gue percaya, yang bisa gue jadikan tempat bersandar tanpa menghakimi gue cuma Ranu.

"Ka?"

Gue kaget. Reflek meletakan HP Ranu ke atas meja kasar, hampir seperti melempar benda itu secara sengaja.

"Kamu udah baikan?" tanya Ranu, ia mematikan HP dan menarik kursi untuknya duduk.

Gue menggelengkan kepala. "Masih pusing dikit."

"Makan yuk. Trus minum obat. Kamu belum nyicip menu makan siangmu," kata Ranu.

"Nu," panggil gue.

Ranu menoleh. Tatapannya masih hangat meski sekarang gue tahu kenapa auranya tak lagi sama dengan Ranu yang dulu.

"Lo nggak akan ninggalin gue, kan? Gue nggak punya siapa-siapa selain lo."

Butuh waktu tiga menit jeda keheningan di antara gue dan Ranu sampai dia akhirnya tersenyum. Senyuman terpaksa, lebih tepatnya. "Makan yuk."

Gue benci.

Gue benci Ranu memikirkan cewek lain. Gue benci lihat Ranu ragu dengan jawabannya; ia bahkan nggak ngasih gue jawaban yang jelas.

Gue benci.

Gue benci menyadari kalau Ranu—seperti Hexa—lambat laun bakal ninggalin gue juga.

Gue benci.

.

.

.

.

BIANGLALA UNTUKMU [fin]Where stories live. Discover now